Oleh : Ustadz Hasbullah, Lc., MA (Alumni Al-Azhar Kairo, Asatidz Majelis Sunan al-Musthafa, dan Tim Asatidz Tafaqquh Study Club)
Sejak mewabahnya virus Corona Covid 19 sudah banyak fatwa yang dimunculkan oleh para ulama dari berbagai belahan dunia Islam, secara personal atau lembaga, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) baik yang di pusat maupun di daerah-daerah. Fungsi dari fatwa sebagai penjelasan dan pedoman pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan agamanya sesuai dengan tuntunan syara’. Karena kita sebagai muslim dituntut untuk berbuat dan beramal sesuai apa yang diatur oleh syariat.
Perlu dipahami, bahwa fatwa itu adalah hukum syara’ terkait kasus tertentu. Bersifat spesifik. Karena fatwa adalah hukum syara’ fatwa harus lahir dari para ahlinya atau lembaga yang sudah diakui kompentesinya. Persoalan agama adalah persoalan dunia dan akhirat. Tidak sembarang orang yang bisa berbicara dalam masalah agama. Dalam persoalan medis yang berkaitan dengan keselamatan kita di dunia yang berbicara harus ahlinya, apatah lagi persoalan agama yang menyangkut keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Maka orang yang tidak punya kompetensi ilmu syariat jangan coba-coba memandai-mandai karena membahayakan dirinya dan orang lain baik di dunia maupun di akirat.
Ulama atau lembaga yang mengeluarkan fatwa haruslah betul-betul pakar di bidangnya. Dalam disiplin ilmu usul fikih dijelaskan banyak syarat-syarat untuk menjadi mufti dan itu sangat ketat, karena fatwa sangatlah berat resikonya. Dan para ulama ketika hendak mengeluarkan fatwa tidaklah segampang yang kita pikirkan, tapi sudah melalui pengkajian yang mendalam dan komperhensif dari berbagai aspek kjian suatu masalah yang difatwakannya.
Syekh Prof., DR. Ali Jum’ah Muhammad, mantan Mufti Mesir menjelaskan bahwa fatwa itu keluar setelah melalui peroses berikut :
1. TASHAWWUR التَّصَوُّرْ (memahami dengan detail masalah yang sedang dihadapi),
2. TAKYIF التَّكْيِيْفْ (Mendudukkan suatu masalah menurut pandangan syariat secara proporsional),
3. AL-HUKMU الْحُكْمُ (memberikan hukum terhadap suatu masalah berdasarkan dalil-dalilnya), dan
4. AL-FATWA الْفَتْوَي (menyampaikan hukum berdasarkan situasi mustafti/peminta fatwa, berdasarkan kondisi dan keadaan, berdasarkan tempat, dan berdasarkan waktu).
Coba kita perhatikan alur diatas dengan seksama, betapa berat tugas seorang Mufti. Di tahap TASHAWWUR (memahami dengan baik pokok permasalahan) harus sesuai dengan kepakaran masing-masing. Jika masalah medis, harus meminta penjelasan para dokter atau ahlinya. Jika masalah ekonomi, harus meminta penjelasan dari para ahli ekonomi, dan begitulah seterusnya. Artinya seorang mufti seringkali dalam menghasilkan fatwa, dia tidak bekerja sendiri, tapi sangat bergantung dengan keahlian-keahlian yang lain. Hal sesuai tuntunan Al-Qur'an QS: an-Nahl : 43:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ) النحل : 43)
Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.
إذا وسد الأمر إلي غير أهله فاتظر الساعة (رواه البخاري)
Jika sesuatu tidak diserahkan pada ahlinya maka tunggulah masa (kehancurannya).
Mengakhiri tulisan ini, mari kita dengarkan wejangan Imam Al-Syatibi Sebagai The Founding Father ilmu Maqashid Syariah, yang sangat popular dengan masterpiecenya Al-Muwafaqat :
المفتي قائم قائم في الأمة مقام النبي صلي الله عليه وسلم، في بيان أحكام الشرع للناس، حيث يقول لهم هذا حلال وهذا حرام...
Seorang mufti (pemberi fatwa) kedudukannya di tengah-tengah umat menempati posisi penerus Nabi Muhammad Saw dalam menjelaskan hukum syariat kepada manusia, ketika mereka berbicara "ini halal, ini haram" . . .
Imam Ibnu Qayyim memposisikan seorang mufti itu adalah delegasi Allah Swt untuk memberikan pengesahan terhadap suatu hukum Allah Swt di muka bumi.
Jika ini bisa dipahami, maka berhentilah menuduh orang yang mengikuti fatwa ulama dengan kata-kata “MEREKA LEBIH TAKUT KEPADA CORONA DARIPADA ALLAH”. Siapa anda? Sampai berani menghukumi iman saudara seiman!
Tempatkan kata “TAKUTLAH KEPADA ALLAH JANGAN TAKUT DENGAN KORONA” pada tempatnya, yaitu sesuai penjelasan ulama, jangan kita memandai-mandai sesuai dengan perasaan dan semangat kita.
Yang belum ikut setidaknya hargailah jerih payah para ulama dan jangan berburuk sangka (SUUZHON) kepada saudara kita yang mengikuti FATWA.
Berbahagialah orang-orang yang ikut fatwa ulama, kalaupun salah, dimaklumi oleh Allah Swt. Dan mudah-mudahan kita semua diberikan hidayah untuk ikut para ulama, ikut pewaris Nabi Saw, sehingga kita termasuk yang dikumpulkann bersamanya di Surga Allah kelak. Aaamiin ya Rabbal alamin.
Wallahu A’lam bi Al-shawab.
Sejak mewabahnya virus Corona Covid 19 sudah banyak fatwa yang dimunculkan oleh para ulama dari berbagai belahan dunia Islam, secara personal atau lembaga, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) baik yang di pusat maupun di daerah-daerah. Fungsi dari fatwa sebagai penjelasan dan pedoman pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan agamanya sesuai dengan tuntunan syara’. Karena kita sebagai muslim dituntut untuk berbuat dan beramal sesuai apa yang diatur oleh syariat.
Perlu dipahami, bahwa fatwa itu adalah hukum syara’ terkait kasus tertentu. Bersifat spesifik. Karena fatwa adalah hukum syara’ fatwa harus lahir dari para ahlinya atau lembaga yang sudah diakui kompentesinya. Persoalan agama adalah persoalan dunia dan akhirat. Tidak sembarang orang yang bisa berbicara dalam masalah agama. Dalam persoalan medis yang berkaitan dengan keselamatan kita di dunia yang berbicara harus ahlinya, apatah lagi persoalan agama yang menyangkut keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Maka orang yang tidak punya kompetensi ilmu syariat jangan coba-coba memandai-mandai karena membahayakan dirinya dan orang lain baik di dunia maupun di akirat.
Ulama atau lembaga yang mengeluarkan fatwa haruslah betul-betul pakar di bidangnya. Dalam disiplin ilmu usul fikih dijelaskan banyak syarat-syarat untuk menjadi mufti dan itu sangat ketat, karena fatwa sangatlah berat resikonya. Dan para ulama ketika hendak mengeluarkan fatwa tidaklah segampang yang kita pikirkan, tapi sudah melalui pengkajian yang mendalam dan komperhensif dari berbagai aspek kjian suatu masalah yang difatwakannya.
Syekh Prof., DR. Ali Jum’ah Muhammad, mantan Mufti Mesir menjelaskan bahwa fatwa itu keluar setelah melalui peroses berikut :
1. TASHAWWUR التَّصَوُّرْ (memahami dengan detail masalah yang sedang dihadapi),
2. TAKYIF التَّكْيِيْفْ (Mendudukkan suatu masalah menurut pandangan syariat secara proporsional),
3. AL-HUKMU الْحُكْمُ (memberikan hukum terhadap suatu masalah berdasarkan dalil-dalilnya), dan
4. AL-FATWA الْفَتْوَي (menyampaikan hukum berdasarkan situasi mustafti/peminta fatwa, berdasarkan kondisi dan keadaan, berdasarkan tempat, dan berdasarkan waktu).
Coba kita perhatikan alur diatas dengan seksama, betapa berat tugas seorang Mufti. Di tahap TASHAWWUR (memahami dengan baik pokok permasalahan) harus sesuai dengan kepakaran masing-masing. Jika masalah medis, harus meminta penjelasan para dokter atau ahlinya. Jika masalah ekonomi, harus meminta penjelasan dari para ahli ekonomi, dan begitulah seterusnya. Artinya seorang mufti seringkali dalam menghasilkan fatwa, dia tidak bekerja sendiri, tapi sangat bergantung dengan keahlian-keahlian yang lain. Hal sesuai tuntunan Al-Qur'an QS: an-Nahl : 43:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ) النحل : 43)
Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.
إذا وسد الأمر إلي غير أهله فاتظر الساعة (رواه البخاري)
Jika sesuatu tidak diserahkan pada ahlinya maka tunggulah masa (kehancurannya).
Mengakhiri tulisan ini, mari kita dengarkan wejangan Imam Al-Syatibi Sebagai The Founding Father ilmu Maqashid Syariah, yang sangat popular dengan masterpiecenya Al-Muwafaqat :
المفتي قائم قائم في الأمة مقام النبي صلي الله عليه وسلم، في بيان أحكام الشرع للناس، حيث يقول لهم هذا حلال وهذا حرام...
Seorang mufti (pemberi fatwa) kedudukannya di tengah-tengah umat menempati posisi penerus Nabi Muhammad Saw dalam menjelaskan hukum syariat kepada manusia, ketika mereka berbicara "ini halal, ini haram" . . .
Imam Ibnu Qayyim memposisikan seorang mufti itu adalah delegasi Allah Swt untuk memberikan pengesahan terhadap suatu hukum Allah Swt di muka bumi.
Jika ini bisa dipahami, maka berhentilah menuduh orang yang mengikuti fatwa ulama dengan kata-kata “MEREKA LEBIH TAKUT KEPADA CORONA DARIPADA ALLAH”. Siapa anda? Sampai berani menghukumi iman saudara seiman!
Tempatkan kata “TAKUTLAH KEPADA ALLAH JANGAN TAKUT DENGAN KORONA” pada tempatnya, yaitu sesuai penjelasan ulama, jangan kita memandai-mandai sesuai dengan perasaan dan semangat kita.
Yang belum ikut setidaknya hargailah jerih payah para ulama dan jangan berburuk sangka (SUUZHON) kepada saudara kita yang mengikuti FATWA.
Berbahagialah orang-orang yang ikut fatwa ulama, kalaupun salah, dimaklumi oleh Allah Swt. Dan mudah-mudahan kita semua diberikan hidayah untuk ikut para ulama, ikut pewaris Nabi Saw, sehingga kita termasuk yang dikumpulkann bersamanya di Surga Allah kelak. Aaamiin ya Rabbal alamin.
Wallahu A’lam bi Al-shawab.
Post a Comment