Cara Memahami Ikhtilaf Hadits Seputar Jenggot


Rasulullah saw. dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:


 خالفوا المشركين وفروا اللحي واحفوا الشوارب

“Buatlah berbeda terhadap kaum musyrik. Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot.[1]

Ada yang memahami hadis ini dengan ‘illah eksplisit atau tekstual (manshushah), yaitu menyalahi kaum musyrik. Ada pula di antara para ulama yang menggunakan riwayat lain tentang ini yang ‘illah-nya tidak disebutkan secara eksplisit oleh Rasulullah saw. Kami memilih –sesuai pendapat Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani[2]- bahwa al-rajih (yang terpilih) adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang wajib adalah menyalahi kaum musyrik, bukan membiarkan jenggot panjang secara fisik. Menyalahi mereka dalam hal ini mengalami perbedaaan bentuk sesuai waktu dan tempat yang berbeda. Terkadang upaya menyalahi mereka dilakukan dengan memanjangkan jenggot, terkadang pula dengan berbedanya pakaian, dan terkadang pula selain itu semua. Demikian pula kewajiban menyalahi terhadap Ahl al-Kitab (Yahud dan Nasrani). Karena dalam riwayat yang lain tercantum bahwa Rasulullah saw. bersabda:


 خالفوا اليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم

“Berbedalah dari kaum Yahudi, karena sesungguhnya mereka tidak melaksanakan shalat dengan memakai sandal dan sepatu (khuf) mereka.”[3]


Menurut Imam al-Suyuti dalam kitabnya al-Jami’ al-Shagir, hadis tersebut shahih[4]. Jika benar begitu, maka hadis ini kontradiksi dengan hadis lainnya yang serupa, dimana Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya Shahih al-Bukhari dari Ibn Abbas ra. berkata:


إنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ بِهِ

“Sesungguhnya Rasulullah saw. menyukai untuk menyamai Ahl al-Kitab dalam hal yang tidak diperintahkan (di luar masalah keagamaan).”[5]


Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah saw. saat menyisir rambutnya, beliau menyatukan rambutnya di bagian depan kepala. Setelah mengatahui keadaan Ahl al-Kitab dalam hal ini, Rasulullah saw. membelah tengah dua bagian rambutnya, antara kanan dan kiri kepala.[6]


Adapun hadis:


  من تشبه بقوم فهو منهم

“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka”.[7]


Maka, hadis ini termasuk hadis yang dipermasalahkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang menilainya sebagai hadis shahih. Ada pula yang menilainya sebagai hadis dhaif.[8] Apabila kita asumsikan hadis ini shahih, maka tidak ada penjeasan apapun di dalamnya yang berisi larangan menyerupai non muslim. Al-Allamah Muhammad Abd al-Rauf al-Minawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir menyatakan: “Ada sebuah pendapat, makna hadis tersebut adalah siapa yang menyerupai orang-orang shaleh, dan ia termasuk pengikut mereka, maka ia dimuliakan sebagaimana mereka dimuliakan. Siapa yang menyerupai orang-orang fasik, ia dihina dan direndahkan seperti halnya mereka.[9] Siapa yang membuat tanda kemuliaan pada dirinya, maka ia dimuliakan meskipun (sikap) kemuliaan tersebut tidak dilakukannya.[10]


Tidak diragukan bahwa hadis di atas mengandung beberapa kemungkinan. Apabila sebuah dalil mengandung beberapa kemungkinan pemahaman, maka tidak dapat dijadikan argumentasi untuk sebuah permasalahan (al-Dalil idza tatharraqa fil ihtimal, saqatha bih al-istidlal). Karenanya, tidak boleh berdalil dengan hadis ini atas diharamkannya tasyabbuh (menyerupai) terhadap kaum non muslim dalam hal berpakaian, rambut dan sejenisnya. Kecuali jika tasyabbuh tersebut terjadi dalam hal pakaian khas non muslim atau tasyabbuh dalam bidang akidah dan ibadah.

Untuk mengompromikan dua buah hadis yang saling kontradiksi ini adalah bahwa berbeda dari kaum musyrik dan Ahl al-Kitab diperintahkan secara khsusu dalam kondisi perang anatara kaum muslimin dan kaum kafir, dari kalangan Ahl al-Kitab dan kaum musyrik. Hal ini terjadi pada masa dahulu dimana penampilan kaum muslimin menyerupai penampilan kaum non muslim dalam hal fisik dan pakaian. Saat itu, belum ada pembeda yang mencolok di antara mereka dengan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh kedua belah pihak dalam perang.


Adapun sekarang, tidak mungkin ada keserupaan (isytibah) antara kaum muslimin dan kaum kafir dalam hal perang, karena sudah ada ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh kedua belah pihak masing-masing. Karenanya, berbeda dari kaum musyrikin dan Ahl al-Kitab dengan memanjangkan jenggot, sekarang ini bukan merupakan maksud dari hadis di atas. Wallahu a’lam.


Selain itu, kami juga melihat bahwa semua yang berkaitan dengan rambut beliau, berupa jenggot, kumis, dan rambut kepala, masuk dalam kategori adat dan budaya, bukan merupakan bagian dari agama dan ibadah. Sudah kami ungkapkan sebelumnya bahwa rambut Rasulullah saw. itu panjang sampai menyentuh pundaknya. Model rambut ini dinamakandengan limmah. Terkadang panjang rambut beliau sampai di bawah telinga namun masih di atas pundak yang dinamakan dengan wafrah. Dan terkadang rambut beliau tersebut sampai pada bagian bawah daun telinganya. Model ini dinamakan jummah.


Tidak diragukan bahwa di antara masyarakat ada yang ketat dalam hal memanjangkan jenggot. Sehingga sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa orang yang jenggotnya tidak panjang, maka shalatnya tidak sah. Suatu saat ada delegasi dari muslim Inggris datang ke Masjid Istiqlal Jakarta. Kami menyambut mereka bersama salah seorang imam Masjid Istiqlal, yang tidak berjenggot. Delegasi itu pun bertanya kepada kami, kenapa orang yang tidak berjenggot itu diangkat menjadi imam di masjid ini? Tampaknya kriteria Islam menurut dia adalah jenggot. Siapa yang berjenggot, maka ia muslim yang shalih, dan siapa yang tidak berjenggot, maka ia bukan muslim, atau paling tidak ia muslim namun tidak shalih.


Sebagaimana diberitahukan kepada kami oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa ada beberapa tamu dari uar negeri datang ke kampusnya. Saat tiba waktu salat zuhur, dan iqamah selesai dikumandangkan, yangbertindak sebagai imam adalah seorang guru besar UIN yang tidak berjenggot. Maka tamu-tamu itupun mengeloyor, tidak mau menjadi makmum di belakangnya. Setela ditanya perihal tersebut, mereka menjawab bahwa mereka tidak berkenan shalat di belakang imam yang tidak berjenggot, sebab salat imam tersebut tidak sah. Mungkin tamu-tamu itu mengira bahwa memotong jenggot adalah dosa besar, sehingga selama hidupnya jenggot tersebut tidak boleh dipotong.


Sahabat Abdullah bin Umar ra. saat berada di Mina, mencukur rambut yang ada di jenjang lehernya.[11] Tidak menutup kemungkinan beliau memotong beberapa helai rambut jenggotnya. Padahal beliau adalah sahabat yang paling konsen mengikuti Nabi saw.


Referensi:


[1]Shahih al-Bukhari, Bab I’fa al-Liha, V/321 dan Shahih Muslim, Bab Khishal al-Fithrah, I/153.


[2]Dr. Muhammad Nashiri, Manhaj al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani fi Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, hal. 390.


[3]Sunan Abu Daud, al-Shalah fi al-Ni’al, I/247; al-Mustadrak karya al-Hakim, bab al-Ta’min, I/391, al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi, Bab Sunnah al-Shalah fi al-Na’lain, II/432.


[4]al-Suyuti, al-Jami’ al-Shagir, I/598.


[5]Shahih al-Bukhari, Bab Sifah al-Nabi Shallallahu alaihi wa salam, III/1305 dan Bab al-Firaq, V/2213; Shahih Muslim, bab Sadl al-Nabi Shallalalu alaihi wa Sallam sya’arah wa farraqah, VII/82; Sunan Ibnu Majah, Bab Ittikhadz al-Jummah wa al-Dzawa’ib, II/1199.


[6]Shahih al-Bukhari, Ibid.


[7]Sunan Abu Daud, Bab Lubs al-Syuhrah, IV/78; al-Minawi, Faidh al-Qadir, VI/104-105.


[8]al-Ajaluni, Kasyf al-Khafa, II/240.


[9]Demikian yang tercantum dalam kitab aslinya, yaitu كهم , mungkin yang lebih tepat adalah: مثلكم (seperti halnya mereka)


[10]al-Minawi, Faidh al-Qadir, VI/104


[11]Ibn Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, IV/114


Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyah. Terj. Mahfudh Hidayat Lukman, Cara Benar Memahami Hadis,(Cet.II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016) h. 213-218.

Post a Comment

Previous Post Next Post