Mengapa Harus Dzikir
Mengingat sesuatu akan berdampak pada phsykologis orang yang mengingat. Apapun yang diingat dan siapa pun yang mengingat.
Mengingat anak akan menghasil: rindu, kangen, sayang, gelisah, resah, sebal, benci, lucu dan seterusnya.
Mengingat suami akan menghasilkan: rindu, sayang, uang, rumah, mobil, janji, perlindungan, kemesraan dan seterusnya.
Mengingat istri akan menghasilkan: rindu, cinta, sayang, cantik, manis, manja, seks, anak, makan, minum, dan seterusnya.
Mengingat sekolah akan menghasilkan: kelas, main, belajar, ujian, EHB, guru, teman, buku dan seterusnya.
Mengingat kantor akan menghasilkan: gaji, atasan, rapat, laporan, cuti dst.
Semua dampak dari ingatan-ingatan tadi dihasilkan dari pengetahuan kita tentang sesuatu tadi, sebagai contoh di atas, anak, suami, istri, sekolah dan kantor. Semakin banyak faktor/hal yang kita ingat maka akan semakin banyak pula dampaknya.
Tidak semua dampak itu sama sekalipun yang diingat itu sama. Seorang yang mempunyai suami yang baik, akan mengingat suami akan hal-hal yang baik. Berbeda dengan suami yang jahat, yang diingat pasti merupakan hal yang negatif. Nah suami dengan dua potret berbeda tadi, itulah yang dilihat dan diketahui oleh masing-masing istri.
Kota tertentu seperti Jakarta umpamanya, ingatan orang akan Jakarta akan berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan, kesan dan pengalaman orang itu tentang Jakarta. Hasilnya, ikatan emosionalnya pun akan berbeda.
Demikian halnya dengan Allah yang disebutkan/diingatkan oleh si pendzikir. Ketika lafaz manapun yang disebutkan, maka gambaran dan hubungan orang tersebut dengan Allah tergantung dari sikap, pengetahuan dan gambaran yang ada dalam bayang orang tersebut.
Jika dia mengingat Allah sebagai Pencipta saja, maka jauh berbeda dengan orang yang mengingat Allah sebagai Pencipta, Penolong, Pelindung, Maha kuasa. Demikian halnya dengan orang yang hanya dapat menggambarkan Allah dengan 10 sifat, akan berbeda dengan orang yang dapat melukiskannya dalam 99 asma’.
Di sini maksud firman Allah :
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)
Dan dari sini kita bisa menghubungkan ayat di atas dengan ayat di bawah
ini:
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 3)
Maksudnya, orang yang mengenal Allah dengan baik akan sangat bertawakkal kepada-Nya dan takut kepada-Nya. Sebaliknya orang yang tidak mengenal Allah, justru sulit untuk diajak bertawakkal dengan makna sebenarnya. Karena itulah, seseorang harus mengawali dzikirnya dengan mengenali Allah lebih dalam lagi, lalu ketika seseorang sudah mengenal Allah dengan baik, maka dia harus menyambungkan-Nya dengan selalu berdzikir. Dengan demikian, hubungan antara hamba yang berdzikir dan kalimat yang diucapkannya akan menyatu. Dan dengan hubungan yang seperti inilah kenikmatan dzikir akan dirasakan, dan dengan hubungan seperti inilah seorang hamba akan selalu rindu dengan asma-asma Allah yang sempurna.
Lalu, ketika lisan sudah bersatu dengan akal dan kalbu, maka janji Allah pun akan dirasakan ada. Allah bersama kita ketika kita sedang berjalan, Allah bersama kita ketika kita sedang bekerja, dan Allah bersama kita dimana saja kita berada.
_____________________________________
40 Hadis Keutamaan Dzikir & Berdzikir
Abdurrahman bin Muhammad bin Ali al-Habsyi
Ahmad Lutfi Fathullah Mughni
Ahmad Lutfi Fathullah Mughni
Post a Comment