MELURUSKAN MAKNA PERKATAAN IMAM SYAFI'I YANG SERING DI JADIKAN DALIL KAUM Salafy Wahabi DALAM MENYERANG AMALIYYAH ASWAJA


1).Pelurusan makna terhadap Nash Imam Syafi’i menganjurkan dzikir secara sirr setelah sholat yang tersebut dalam Kitab Al-Umm pada Juz.II Hal.288

وَأَخْتَارُ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللَّهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنْ الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ، ثُمَّ يُسِرُّ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَ يَعْنِي وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ الدُّعَاءَ وَلَا تَجْهَرْ تَرْفَعْ وَلَا تُخَافِتْ حَتَّى لَا تُسْمِعَ نَفْسَك

Aku memilih pendapat, imam dan ma'mum berdzikir kepada Alloh sesudah selesai sholat dan menyembunyikan suaranya kecuali keadaan imam wajib belajar ma'mum darinya dzikir tersebut, maka dijaharkan sehingga dimaklumi bahwa ma'mum sudah belajar darinya, kemudian imam melakukannya dengan sirr,sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla berfirman : “Jangan kamu jahar sholatmu dan juga jangan kamu sembunyikan

yaitu Alloh Ta’ala Maha mengetahui do’a dan jangan kamu angkat suara serta jangan kamu sembunyi suara sehingga kamu sndiri tidak mendengarnya.

Ibnu Abbas menceritakan :

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Artinya : Sesungguhnya mengeraskan suara dengar dzikir pada ketika berpaling manusia dari sholat wajib ada terjadi pada masa Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam,Ibnu Abbas mengatakan : Aku mengetahui mereka telah selesai dari sholat wajib ketika mendengarnya.(HR. Bukhori dan MuslimMuslim) 

Dalam Syaroh shohih Muslim Juz. II, Hal. 91, No. Hadits : 1346

Imam An-Nawawi dalam mensyaroh hadits nomor 1346 di atas mengatakan : Hadits di atas merupakan dalil bagi sebagian salaf yang berpendapat sunnah mengeraskan suara pada takbir dan dzikir sesudah sholat wajib,termasuk yang mengatakan sunnah itu adalah Ibnu Hazm Adzh-Dzhohiri,Ibnu Bathol dan lainnya mengutip bahwa pengikut madzhab madzhab yang diikuti dan lainnya sepakat atas tidak disunnahkan mengeraskan suara pada dzikir dan takbir,Imam Asy-Syafi’i ra. telah menempatkan hadits ini kepada makna bahwa jahar itu terjadi dalam waktu tidak lama sehingga mereka tahu bagaimana sifat dzikir, bukan mereka melakukan jahar selama-selamanya. Imam Asy-Syafi’i mengatakan : Aku memilih pendapat, imam dan makmum berdzikir kepada Alloh Ta’ala sesudah selesai sholat dan menyembunyikan suaranya kecuali imam menginginkan ma'mum belajar dzikir darinya, maka dijahar sehingga dimaklumi bahwa ma'mum sudah belajar darinya, kemudian imam melakukannya dengan sirr,Imam Asy-Syafi’i menempatkan hadits atas pemahaman ini

Nash Imam Syafi’i di atas telah dijadikan hujjah oleh orang-orang anti dzikir jahar secara mutlaq,padahal apabila kita mau mendalami lebih jauh nash berdzikir secara sirr sesudah sholat yang difatwa oleh Imam Syafi’i tersebut tidaklah secara mutlaq sifatnya,akan tetapi tergantung kondisi dan keadaan seseorang yang berdzikir. Ini terbukti dengan fatwa beliau membolehkan dzikir secara jahar apabila imam berpendapat perlu menjiharkannya untuk mengajari  makmum berdzikir,makna yang dapat kita tangkap dari fatwa Imam Syafi’i ini adalah apabila ada kemaslahatan yang kembali kepada dzikir, maka dibolehkan, bahkan dianjurkan dzikir secara jahar,kemashalatan itu bisa dalam bentuk mengajari dzikir kepada jama’ah sebagaimana nash Imam Syafi’i di atas,juga bisa saja dalam bentuk lain, seperti untuk meningkatkan semangat dan keinginan jama’ah berdzikir ataupun untuk lebih mendapati rasa khusyu’,Ini tentu berbeda dengan sebab berbeda keadaan seseorang. Sebagian orang kadang-kadang merasa lebih menikmati dzikir secara sirr dan kadang sebagian lain lebih mempunyai kesungguhan dan menghilangkan rasa malas berdzikir apabila dzikir dilakukan secara jahar,di sini berlakulah qoidah fiqih yang mengatakan 

الحكم  يدور مع العلة وجودا او عدما

Hukum bergantung kepada ‘illah dalam hal adanya hukum atau tidak adanya

Ibnu Hajar Al-Haitami salah seorang ulama yang dianggap sangat mengerti tentang madzhab Syafi’i dalam Kitab Al-Fatawa Al-Kubro pada Juz.I hal.76

mengomentari beberapa hadits Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam yang menunjukan dianjurnya dzikir secara jahar, sementara ada beberapa hadits lain yang cenderung menganjurkan dzikir secara sirr, beliau mengatakan : Bahwa yang demikian itu, berbeda dengan sebab berbeda orang dan keadaannya, sebagaimana Imam An-Nawawi  mengkompromikan antara hadits-hadits yang menuntut jahar membaca Al-Qur’an dan hadits-hadits yang menuntut sirr,karena itu, tidak makruh menjaharkan dzikir sama sekali,karena memang tidak ada pertentangan antara keduanya,bahkan dalam hadits tersebut menunjuki kepada disunnahkannya dengan jahar, baik dengan shorih ataupun iltizam (isyaroh lazim) dan tidak bertentangan yang demikian itu dengan hadits sirr, sebagaimana tidak bertentangan hadits-hadits jahar membaca Al-Qur’an dengan hadits yang menyuruhnya dengan sirr sama halnya dengan sirr bershodaqoh,Imam Nawawi telah mengkompromikannya, bahwa sirr lebih baik pada ketika dikuatirkan riya atau mengganggu orang sholat atau orang tidur;sedangkan jahar lebih baik pada selain itu, karena amalan padanya lebih banyak dan faidahnya mencakup juga kepada pendengarnya serta meneguhkan hati pembacanya, memfokuskan kemauannya kepada berpikir, mengkonsentrasikan pendengarannya kepada Al-Qur’an,dapat mengusir tidur dan menambah ketekunan,maka demikian juga dzikir berdasarkan perincian ini.

2).Meluruskan makna  Nash Imam Syafi’i yang mencela berkumpul di rumah kematian pada Kitab Al-Umm pada Juz 2  hal.638 sbb :

وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مع ما مَضَى فيه من الْأَثَرِ

Dan aku memakruhkan ma’tam yakni kumpulan (dirumah kematian), meskipun didalamnya tidak terdapat tangisan, karena yang demikian bisa memperbaharui kesedihan dan juga membebani secara materi sebagai dampak apa yang telah terjadi

Sebagian umat Islam mengatakan, Imam Syafi’i sendiri yang menjadi ikutan bagi orang-orang sering melakukan kenduri di rumah kematian sebagaimana nash di atas,mengatakan tidak boleh berkumpul dirumah kematian, apalagi dengan menyediakan makanan.

akan tetapi apabila kita mau memperhatikan secara seksama perkataan Imam Syafi’i di atas,maka akan terlihat bahwa alasan yang digunakan Syafi’i dalam memakruhkan  berkumpul itu adalah menimbulkan kesedihan baru dan membebani ahli waris yang sedang berduka,karena itu, apabila faktor yang dapat menimbulkan kesedihan itu tidak ada, maka hukum makruh itupun hilang,hal ini sesuai dengan qoidah fiqih berbunyi :

الحكم يدور مع العلة  وجودا وعدما

Artinya : Hukum itu bergantung pada ‘illah-nya dari sisi ada dan tidaknya

Berdasarkan ini pula, ketika ditanyai mengenai hukum bermalam di rumah kematian yang mencapai sebulan dari hari kematian, Ibnu Hajar Al-Haitamy dalam Al-Fatawa Kubro Fiqiyyahnya pada juz 2 hal.7 menjawab : Bahwa bermalam di sisi ahli mayat untuk menghibur  atau untuk membalut luka hati mereka, maka itu tidaklah mengapa, karena hal itu termasuk silaturohmi yang terpuji yang disukai syara’.

adapun kenduri pada rumah kematian dengan niat menghadiahkan pahala bagi mayat justru membuat ahli rumah akan merasa senang sebab ada harapan anggota keluarganya mendapat keringanan adzab di alam kubur, apalagi kenduri tersebut biasanya dibaringi dengan kegiatan pembacaan do’a untuk mayat,dengan demikian perkataan Imam Syafi’i di atas tidak dapat menjadi alasan larangan kenduri pada rumah kematian. Apalagi sebenarnya pengertian Al-Ma’tam dalam perkataan Imam Syafi’i di atas, maksudnya adalah duduk ahli rumah kematian dengan sengaja dengan niat menunggu datang penta’ziyah yang tujuannya melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan kesedihan baru atas ahli rumah yang ditimpa musibah kematian seperti menyebut kebaikan kebaikan mayat pada masa hidupnya,  membahas kehidupan yang dihadapi anggota keluarga setelah kematian sang mayat dan lain-lain

Imam Al-Nawawi dalam

Majmu’ Syaroh Al-Muhadzab pada Juz.V hal.281 menjelaskan maksud Al-Ma’tam dalam perkataan Imam Syafi’i tersebut mengatakan : Adapun ucapan Imam Syafi’i rohimahulloh didalam kitab Al-Umm : Aku memakruhkan Ma’tam, yaitu sebuah kelompok, walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut,maka maksudnya adalah duduk-duduk untuk dita’ziyah.

Adapun kenduri di rumah kematian yang menjadi pembahasan kita adalah berkumpulnya para tamu di rumah kematian atas undangan ahli rumah untuk membaca tahlil dan do’a, kemudian disuguhi makanan kepada tamu tersebut dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayat, bukan dalam rangka untuk dita’ziyah,ini tentu jauh berbeda dengan duduk-duduk ahli rumah menunggu datang penta’ziyah,lalu membicarakan hal-hal yang mengundang ratapan dan kesedihan ahli rumah.

Demikian pemahaman yang betul tentang nash Imam Syafii mengenai dzikir jahar ba'da sholat maktubah dan celaan berkumpul di rumah yang kematian yangdi syaroh oleh ulama besar madzhab Syafi'i seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami


Wallouhu A'lam Bish Showab

0/Post a Comment/Comments

أحدث أقدم