Dalam pengertian bahasa taqlid berasal dari bahasa Arab yaitu qollada, yuqolidu, taqlidan yang berarti mengulangi,meniru dan mengikuti.
Pengertian taqlid dalam istilah fiqih
Yaitu mengambil atau mengikuti pendapat mujtahid yang sudah memenuhi persyaratan berijtihad dan mengamalkan pendapatnya dalam segala masalah hukum yang lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah (boleh). Orang yang bertaqlid disebut muqollid
Pengertian taqlid menurut Para Ulama
adalah sbb :
Menurut Al-Imam Ghozali dalam Al-Mustashfa
التّقليد قبول بغير حجّّة وليس طريقا للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع
Artinya: Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tanpa hujjah dan taqlid itu tidak dapat menjadi jalan menuju pengetahuan (keyakinan), urusan ushul maupun dalam urusan furu..
Menurut Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayan Al-Ilm pada juz II hal.117
Taqlid menurut segolongan ulama adalah yang bukan ittiba' karena ittiba' adalah seseorang mengikuti perkataan orang lain (ulama) berdasarkan pada keutamaan ucapan dan kebenaran madzhabnya. Sedangkan taklid adalah anda berkata (mengutip) dengan ucapannya sedangkan anda tidak mengetahuinya dari sisi pendapat dan maksudnya.
Menurut Khotib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih pada juz II hal.66
Taqlid adalah menurut pendapat seseorang (ulama) tanpa dalil.
Menurut pendapat Qodhi Abdul Wahab Al-Maliki yang dikutip oleh Imam As-Suyuthi dalam Ar-Rodd 'Ala man Akhlada ilal Ard, hal.125
Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang karena orang itu berkata demikian tanpa pengetahuan atas benar atau salahnya.
Menurut As-Syaukani :
Taqlid adalah menerima suatu pendapat tanpa dalil (hujjah) tidak termasuk taklid apabila seseorang melakukan suatu karena perkataan Nabi atau ijma' ulama, atau merujuknya orang awam pada pendapat mufti atau merujuknya hakim pada kesaksian orang yang adil karena ada hujjah dalam hal tersebut,adapun mengamalkan perkataan Nabi dan ijma' maka sudah dijelaskan dalilnya dalam soal itu dalam tujuan Sunnah dan Ijma'
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat,baik yang diikuti itu masih hidup atau pun sudah mati,baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-oang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali.
Alloh SWT berfirman dalam surat Al-Baqoroh 170 :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Alloh SWT ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Alloh SWT turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Alloh SWT )
HUKUM TAQLID BAGI ORANG AWAM
Ada 2 (dua) pendapat tentang hukum taqlid bagi orang awam. (a) Wajib atau boleh; (b) Harom.
Pendapat pertama wajibnya taqlid bagi orang awam adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Baik taqlid dalam soal aqidah atau fiqih
Imam Ghozali dalam Kitab Al-Mustashfa mengatakan :
العامي يجب عليه الاستفتاء واتباع العلماء
Artinya: Orang awam wajib meminta fatwa dan ikut pada (pendapat) ulama.
Ibnu Abdil Barr mengatakan dalam Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi sbb :
العامة لا بد لها من تقليد علمائها عند النازلة تنزل بها؛ لأنها لا تتبين موقع الحجة، ولا تصل بعدم الفهم إلى علم ذلك؛ لأن العلم درجات لا سبيل منها إلى أعلاها إلا بنيل أسفلها، وهذا هو الحائل بين العامة وبين طلب الحجة"، .. "ولم تختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المرادون بقوله -عز وجل-: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .
Arti ringkasan: Orang awam harus taqlid pada ulama mereka karena orang awam tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk memahami argumen tingkat tinggi inilah yang menjadi penghalang antara orang awam untuk mencapai argumen sendiri,Ulama sepakat bahwa orang awam wajib taqlid pada ulama mereka itulah yang dimaksud Alloh dalam Quran pada Surat An-Nahl ayat 43
Pendapat kedua bahwa taqlid bagi orang awam itu haram adalah pendapat dari sebagian golongan Qodariyah dan Ibnu Hazm, Ini adalah pendapat yang sangat minoritas dari kalangan ulama Islam.
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum : Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.
Para Ulama sepakat menyatakan haram melakukan taqlid yang seperti ini dan Taqlid yang dimaksud ini ada tiga macam :
a).Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan Al-Qur`an Hadits.
b).Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c).Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh SWT hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa Taqlid ini sifatnya sementara,misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan,termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama mutaakhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a).Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b).Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syekh lbnu Taimiyyah berkata : “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shohih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya,
Dan karena adanya pendapat ini jugalah kaum SAWAH saat ini tidak mau bertaqlid kepada Imam 4 Madzhab
Taqlid yang diwajibkan :
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rosululloh SAW dan hal ini seperti apa yang dikatakan oleh lbnul Qoyyim Al-Jauziyyah seorang ulama yang sering di jadikan rujukan kaum SAWAH : Sesungguhnya Alloh SWT telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis yang Alloh SWT perintahkan agar para istri NabiNya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firmanNya dalam surat Al-Ahzab ayat 34 sbb :
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Artinya : “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh SWT dan hikmah (Sunnah Nabimu)
lnilah Adz-Dzikr yang Alloh SWT perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Alloh SWT perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh SWT turunkan kepada RosulNya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya,kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku,internet,dan medsos bukannya taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal seperti Imam Abu Hanifah,Imam Malik bin Anas,Imam Asy-Syafi`i, dan Imam Hambali
Jamaludin Al-Qosini berkata : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya,Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad- Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al-Jauzi dan sebagainya
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a).Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqih,beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b).Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan,setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c).Imam Asy-Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa : "beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d).Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para shohabatnya sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
Alloh SWT telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya firman Alloh dalam surat Az-Zukhruf ayat 22-24 sbb :
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
Artinya : Bahkan mereka berkata : "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka" dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rosul itu) berkata : ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab : “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya
Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’
Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba’ diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba :
1).Al-Imam Abu Hanifah berkata :“Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata : “Orang yang tidak tahu dalilku,harom atasnya berfatwa dengan perkataanku”
2).Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru lihatlah pendapatku setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”
3).Al-Imam Asy-Syafi’i berkata : Jika kalian menjumpai sunnah Rosululloh SAW ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”
Beliau juga berkata: “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shohih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti,janganlah kalian taqlid kepadaku”.
4).Imam Ahmad berkata : “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para shohabatnya ambillah” Beliau juga berkata,Ittiba adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi SAW dan para sahabatnya
ITTIBA`
Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti,Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة) (berpanutan) dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya dan kata ini berkisar pada makna menyusul,mencari, mengikuti,meneladani dan mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut, Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang dan dibenarkan Rosululloh SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash,Ittiba` adalah lawan taqlid.
2).Macam-Macam Ittiba`
a).Ittiba`kepada Alloh dan RosulNya
b).Ittiba` kepada selain Alloh dan RosulNya
Ulama berbeda pendapat ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan, Umam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Alloh, Rosul dan para shohabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama warusatul ambiyaa (ulama pewaris para Nabi).
3).Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian,tanpa diselimuti keraguan sedikitpun,suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusyukan,keikhlasan dan kekhusyukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba'
Kepada siapa kita wajib ittiba’?
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’ kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rosululloh SAW adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Alloh SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 21
قال الله تعالى : لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya : "Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh suri teladan yang baik (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Alloh."
Dalam ayat lain Alloh SWT berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 7:
قال الله تعالى : وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya : Dan apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Imam Ahmad bin Hambal menyatakan : Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosululloh SAW dan para shohabatnya.
Ittiba’ kepada Nabi SAW dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi SAW sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dan seterusnya dengan alasan karena beliau SAW meyakininya.
Ittiba’ kepada Nabi SAW dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya bukan dengan mengulang-ulang lafadzh dan nashnya saja.
Sebagai contoh sabda beliau SAW:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya : Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.(HR. Bukhori).
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan sholat seperti sholat beliau
Sedangkan ittiba’ kepada Nabi SAW di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan,sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi SAW di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau SAW meninggalkannya dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.
Hukum Ittiba’
Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rosululloh SAW dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan,begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rosululloh SAW di antaranya firman Alloh SWT dalam surat Ali-Imron ayat 32 :
قال الله تعالى : ﴿ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾
Artinya : “Katakanlah: “Taatilah Alloh dan RosulNya jika kamu berpaling,maka sesungguhnya Alloh SWT tidak menyukai orang-orang kafir”
Dalam ayat lain Alloh SWT berfirman dalam surat Al-Hujurot ayat 1:
قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Alloh SWT dan RosulNya dan bertaqwalah kepada Alloh sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Demikian juga Alloh SWT memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mu'minin yaitu jalan para sahabat Rosululloh SAW dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya :
Alloh berfirman dalam surat An-Nisa ayat 115 :
قال الله تعالى : ﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾
Artinya :Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”
Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba' kepada Rosululloh SAW mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
1).Ittiba' kepada Rosululloh SAW adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua :
a).Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Alloh SWT semata.
b).Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rosululloh SAW
Karena banyak juga sekarang orang yang ngaku paling nyunnah tapi sejatinya malah menjauhkan diri dan umat dari sunnah,mereka selalu berdalil segala sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Nabi SAW itu bid'ah,padahal definisi bid'ah yang bener aja mereka nafikan...
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara : taqwa kepada Alloh SWT niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rosul) Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Alloh SWT semata dan serupa dengan sunnah Rosululloh SAW niscaya amal itu akan diterima oleh Alloh SWT akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Alloh SWT Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya,oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik,maka amalnya baik.
2).Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Alloh SWT dan RosulNya.
Alloh SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 31 :
قال الله تعالى : ﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾
Artinya : "Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh,ikutilah aku,niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu,Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya : "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah SWT akan tetapi tidak mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Alloh SWT sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad SAW dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."
3).Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Alloh SWT
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyulloh dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Alloh SWT dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Alloh SWT kecuali orang yang beriman kepada Rosululloh SAW dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun bathin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Alloh SWT dan mengaku sebagai wali Alloh SWT tetapi dia tidak ittiba' kepada RosulNya, berarti dia berdusta,bahkan kalau dia menentang RosuNya, dia termasuk musuh Alloh SWTdan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzil-Hanafi berkata : "Pada hakikatnya yang dinamakan karomah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqomah di atas Al-Haq, karena Alloh SWT tidak memuliakan hambaNya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiqNya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhoiNya yaitu istiqomah di dalam mentaati Alloh SWT dan RosulNya dan berwala kepada wali-wali Alloh SWT serta bara' dari musuh-musuhNya." Mereka itulah wali-wali Alloh SWT sebagaimana tersebut dalam firman-Nya pada surat yunus ayat 62 :
قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾
Artinya : "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh SWT itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rosululloh SAW merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Alloh SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Alloh SWT dengan membawa husnul khotimah. Amien, ya Robbal Alamin.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq
إرسال تعليق