Banyak orang yang tidak tahu akan hakikat mazhab Asy’ariyah dan tidak mengenal siapakah ulama’ Asy’ariyah dan jalan mereka dalam urusan akidah. Bahkan, ada diantara mereka yang berani menisbatkan ulama’ mazhab Asy’ariyah pada kesesatan atau mendakwakan bahwa para ulama’ tersebut telah melakukan pencacatan terhadap agama dan menghina kesucian Allah.
Ketidak-tahuan mereka akan mazhab Asy’ariyah adalah sebagai penyebab terpecahnya kesatuan (Ahli Sunnah) dan tercerai berainya mereka hingga sekarang ini diantara orang Islam yang mengikuti (Mazhab Asy’ariyah) dianggap sebagai golongan yang sesat. Tidaklah aku melihat bagaimana cara mensinkronkan antara ahli iman dengan golongan mu’tazilah yang merupakan pengikut aliran Juhmiyah? (“Apakah Aku akan menjadikan orang-orang Islam seperti orang-orang yang berdosa?”)
Kaum Asy’ariyah adalah kumpulan para ulama’ Islam yang menjadi benderanya hidayah, yaitu orang-orang yang ilmunya telah memenuhi bumi dari timur sampai barat yang umat manusia telah mengakui kemuliaan, ilmu dan agama mereka. Mereka adalah para pembesar ulama’ ahli sunnah wal jama’ah yang mulia yang berusaha membendung penyebaran aliran mu’tazilah. Mereka adalah orang-orang yang Ibnu Taimiyyah telah berkata, “Para ulama’ adalah para penolong ilmu agama dan para ulama’ Asy’ariyah adalah para penolong akidah agama.” Seperti yang telah dijelaskan dalam Al Fatawa juz 4.
Sesungguhnya mereka merupakan perkumpulan para muhadditsin, fuqaha’ dan mufassirin. Diantara mereka adalah :
Seandainya disini dihitung dan ditulis nama-nama para muhadditsin, mufassirin dan fuqaha’ yang merupakan para imam mazhab Asy’ariyah, maka sudah pasti akan menjadi berjilid-jilid buku untuk menulis nama-nama mereka para ulama’ yang mulia yang ilmu mereka telah memenuhi bumi dari timur hingga barat. Namun yang harus dilakukan disini adalah kita mengetahui beberapa pembesar mazhab Asy’ariyah yang sudah masyhur dan kita mengetahui kemuliaan para ahli ilmu dan keutamaan mereka yang telah melayani syariat nabi Muhammad saw.
Lalu kebaikan mana yang bisa diharapkan pada diri kita bila kita menuduh para ulama’ yang mulia dan para pendahulu kita yang sholih dengan sesat dan menyimpang dari ajaran yang benar ?
Bagaimana bisa Allah membukakan untuk kita untuk dapat mengambil faidah dari ilmu mereka, ketika ada pada diri kita keyakinan bahwa dalam ilmu-ilmu mereka terdapat penyimpangan dari ajaran Islam?
Syeikh Muhammad al Maliki berkata, “Apakah ada ulama’ di zaman sekarang ini yang bergelah (Doktor) atau (Profesor) yang mampu menempati posisi Syeikh Ibnu Hajar al Asqalani dan imam an Nawawi dalam melayani sunnah Nabi yang suci seperti yang telah dilakukan oleh beliau berdua?Semoga Allah menyelimuti keduanya dengan rahmat dan ridho. Lalu bagaimana bisa kita menuduh keduanya dan ulama’ mazhab Asy’ariyah lainnya dengan sesat, sedangkan kita membutuhkan ilmu mereka ?
Bagaimana kita bisa mengambil ilmu mereka, jika mereka berada dalam kesesatan ? sedangkan Imam al Zuhri telah berkata, (“Sesungguhnya ilmu adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”)
Tidakkah cukup bagi orang yang kontra untuk mengatakan, “Sesungguhnya mereka telah berijtihad lalu mereka salah dalam menta’wili sifat”. Lebih baik mereka orang-orang yang kontra mengikuti jalan tersebut sebagai pengganti dari menuduh para ulama’ dengan menyimpang dan sesat. Dan kita sangat membenci bila ada orang yang menganggap mereka, para pengingkar, sebagai bagian dari golongan ahli sunnah wal jama’ah. Seandainya Imam an Nawawi, Imam al Asqalani, al Qurthubi, Imam al Baqilani, Imam al Fakhr ar Razi, Imam al Haitami, Imam Zakariya al Anshari dan ulama’-ulama’ besar lainnya tidak termasuk bagian dari golongan ahli sunnah wal jama’ah, lalu siapakah ahli sunnah kalau begitu ?
Sesunggungnya, kami mengajak kepada para da’i dan orang-orang yang kecimpung dalam urusan da’wah Islam supaya takutlah kalian kepada Allah dalam umat Muhammad, terlebih dalam urusan para ulama’nya yang mulia, karena umat Muhammad tetap berada dalam kebaikan hingga datangnya hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita ketika kita tidak mengenal derajat dan kemuliaan para ulama’ kita.”.
[ Dikutip dari, Mafahim Yajibu ‘an Tushahhah, Syeikh Muhammad al Maliki, hlm. 120-122 ]
Ciri ulama yang penyebab perselisihan karena beda pemahaman
Mereka terpengaruh oleh para ulama yang dicirikan oleh Rasulullah sebagai yang artinya “Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita“.
Para ulama berbahasa ibu, bahasa Arab namun pemahamannya menyelisihi kesepakatan as-sawad al a’zham (jumhur ulama) dikarenakan terhasut atau terkena ghazwul fikri (perang pemahaman) kaum Zionis Yahudi sehingga mereka memerangi orang-orang beriman namun “membiarkan” orang kafir atau membiarkan para penguasa negeri (umaro) menjadikan orang kafir sebagai teman kepercayaan, penasehat maupun sebagai pelindung.
Para ulama yang mengada-ada dalam urusan agama yakni mengada-adakan kewajiban yang tidak diwajibkanNya, mengada-adakan larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya. Para ulama yang memahami Al Qur'an dan As Sunnah lebih menyandarkan berdasarkan akal pikiran sendiri, pemahaman yang tidak didapatkan dari bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang bersanad ilmu tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) ,
apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir telah menceritakan kepadaku Busr bin Ubaidullah Al Khadrami, ia mendengar Abu Idris alkhaulani, ia mendengar Khudzaifah Ibnul yaman mengatakan; Orang-orang bertanya Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam tentang kebaikan sedang aku bertanya beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan aku terkena keburukan itu sendiri.
Maka aku bertanya ‘Hai Rasulullah, dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lantas Allah membawa kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan lagi?
Nabi menjawab ‘Tentu’.Saya bertanya ‘Apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan lagi?
Tentu’ Jawab beliau, dan ketika itu ada kotoran, kekurangan dan perselisihan.
Saya bertanya ‘Apa yang anda maksud kotoran, kekurangan dan perselisihan itu?
Nabi menjawab ‘Yaitu sebuah kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedomanku, engkau kenal mereka namun pada saat yang sama engkau juga mengingkarinya.
Saya bertanya ‘Adakah setelah kebaikan itu ada keburukan?
Nabi menjawab ‘O iya,,,,, ketika itu ada penyeru-penyeru menuju pintu jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka, mereka akan menghempaskan orang itu ke pintu-pintu itu.
Aku bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu.
(Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim yang artinya “Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)
Dalam hadits tersebut Rasulullah memerintahkan kita untuk meninggalkan sekte (sempalan) , pemahaman yang menyelisihi pemahaman jumhur ulama dan berpegang pada pemahaman jumhur ulama sebagaimana hadits yang lain
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Kita paham bahwa yang berselisih pemahaman adalah para ulama , oleh karenanya sunnah Rasulullah adalah mengikuti as-sawad al a’zham atau mengikuti pemahaman jumhur ulama atau mengikuti pemahaman berdasarkan kesepakatan banyak ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jamaah adalah Sawadul A’dzam.
Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Mereka membantah berpegang dengan pemahaman secara harfiah pada “Badaal islamu ghoriban wasaya’udu ghoriba kama bada’a fatuuba lil ghoroba“ , Islam datang dalam keadaan asing dan akan akan kembali asing maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.. (Hr Ahmad)
Kalau asing ditengah-tengah orang kafir atau orang yang sesat, tentulah hal yang benar namun asing ditengah-tengah mayoritas ulama yang sholeh maka itulah yang dimaksud keluar seperti anak panah yang meluncur dari busurnya
Mereka membantah berpegang dengan pemahaman secara harfiah pada perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu (yang artinya): ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri”
Seorang diri ditengah-tengah orang kafir atau orang yang sesat, tentulah hal yang mudah dalam menetapkan al haq namun seorang diri ditengah-tengah ullama-ulama yang sholeh dan lebih berkompetensi menetapkan al haq maka itulah yang dimaksud keluar seperti anak panah yang meluncur dari busurnya atau keluar dari jamaah atau keluar dari As-Sawad Al-A’zhom (pemahaman jumhur ulama).
Mereka membantah dengan berkata bahwa Allah Azza wa Jalla melarang kita mengikuti orang kebanyakan. Mereka memahami secara harfiah firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)
Mereka tidak dapat membedakan antara “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” dalam firman Allah ta’ala tersebut dengan “menuruti pendapat kebanyakan ulama yang sholeh (jumhur ulama)”.
Inilah apa yang dikatakan oleh Imam sayyidina Ali kw , “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).
Apa yang disampaikan oleh mereka adalah benar merupakan firman Allah ta’ala dalam (QS Al An’aam [6]:116) namun Allah ta’ala tidak bermaksud melarang hambaNya menuruti pendapat kebanyakan ulama (jumhur ulama).
Makna firman Allah ta’ala dalam (QS Al An’aam [6]:116) adalah larangan “menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi” yakni orang-orang musyrik. Hal ini dapat kita pahami dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Secara tidak sadar mereka telah memfitnah Allah Azza wa Jalla , menggunakan firman Allah ta’ala untuk tujuan/maksud yang berbeda.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kaum muslim bila telah terjadi fitnah antara lain
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Firman Allah Azza wa Jalla dalam (QS Al Ma’iadah [5]:54) di atas menjelaskan ciri-ciri ulama yang baik untuk diikuti yakni "yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela"
Jelaslah yang kita ikuti adalah ulama yang bersikap lemah lembut terhadap orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir bukan sebaliknya ulama yang keras terhadap orang mu'min dan bersikap lemah lembut terhdap orang kafir
Terhadap orang kafir kita harus bersifat keras maksudnya bersikap adil, tegas dan baik sebagaimana perlakukan kita terhadap ciptaanNya yang lain.
Terhadap orang mu'min adalah bersaudara dan saling mencintai Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara" ( Qs. Al-Hujjarat :10)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda: "Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai
Allah Azza wa Jalla telah mengibaratkan kelakuan orang kafir bagaikan kelakuan binatang.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mu’min dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS Muhammad [47]:12 )
Untuk itulah kita sebaiknya jangan menjadikan orang kafir sebagai teman kepercayaan, penasehat maupun pelindung.
Firman Allah Azza wa Jalla, "Hasbunallah wani’mal wakil" , “Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar” (QS Ali `Imran [3]: 173)
Oleh karenanya sebaiknya jangan terlampau mudah percaya dengan ulama berbahasa Arab, periksalah apakah pemahaman mereka menyelisihi pemahaman imam/pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat. Memang ada Imam Mazhab yang lain selain yang berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak komprehensive atau tidak menyeluruh sehingga kaum muslim mencukupkannya pada Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimana sunnah Rasulullah di atas bahwa "hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu" maka janganlah mengikuti pemahaman sekte manapun tetaplah pada jama'ah dengan menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan pemahaman imam/pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Janganlah sebaliknya yakni memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal pikiran sendiri lalu membandingkannya dengan pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra :
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.
Wassalam
Ciri-ciri mereka
Dapat kita simpulkan dari sabda-sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa sesungguhnya di masa kemudian akan ada ulama-ulama yang menyebabkan perselisihan diantara kaum muslim dikarenakan perbedaan pemahaman dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Berbahasa ibu yakni bahasa Arab.
2. Kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedoman Rasulullah yakni mereka mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.”
3. Mereka berfatwa tidak mengindahkan kesepakatan as-sawad al a’zham (jumhur ulama) atau tidak mengindahkan pemahaman imam/pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat
4. Pemahaman mereka menyempal (keluar) dari pemahaman jama'ah atau keluar dari pemahaman jumhur ulama atau keluar dari kesepakatan as-sawad al a’zham
5. Seharusnya bersikap lemah lembut terhadap orang mu’min, bersikap keras terhadap orang-orang kafir namun mereka sebaliknya, keras terhadap orang mu’min dan bersikap lemah lembut terhadap orang kafir
6. Mereka memerangi orang-orang beriman yang berbeda pemahaman dengan mereka.
Kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedoman Rasulullah yakni mereka mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.
Hal ini dicontohkan salah satunya oleh mufti mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah
Andaikan Niqab ( Cadar / Purdah) sebuah perkara syariat atau kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa maka akan bertentangan dengan larangan menutup muka ketika ihram bagi kaum wanita. Adalah hal yang mustahil dalam perkara syariat ada yang saling bertentangan.
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Mufti Profesor Doktor Ali Jum`ah menegaskan : ” bawah fatwa yang di keluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir dan Lembaga Riset Islam yang terdiri dari ulama besar di seluruh dunia menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan termasuk auratnya perempuan, sebagaimana juga pendapat mayoritas ulama islam dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Imam Mardawi al-Hanbali mengatakan bahwa pendapat yang sahih didalam mazhab Hanbali adalah muka dan telapak tangan tidak termasuk aurat “.
Mufti melanjutkan : ” Bahwa fatwa ini bukan saja dimulai oleh mereka, bahkan Imam Auza`i, Imam Abu Tsur , Atha`, Ikrimah, Sa`id bin Jubair, Abu Sya`tsa`, ad-Dhahak, Ibrahim an-Nakha`i juga berpendapat seperti itu, sementara diantara para sahabat yang berpendapat seperti itu adalah Umar, Ibnu Abbas,
Dan Mufti juga menegaskan bahwa pemakaian Niqab merupakan satu kebiasaan menurut mayoritas ulama, hal ini merupakan kebebasan seseorang yang ingin memakainya atau tidak memakainya, kecuali jika bersangkut paut dengan adriministarasi seperti membuat pasport, kartu kependudukkan, identitas diri, bekerja di lembaga kesehatan, unit keamanan dan sebagianya maka boleh bagi pemerintah melarang menggunakan Niqab ketika urusan tersebut dilaksanakan”.
Mufti menambahkan : ” Beginilah keputusan ulama umat dari zaman dahulu sampai sekarang jika bersangkut paut
sesuatu yang Mubah (boleh) maka negara boleh membatasinya sesuai dengan maslahah dan mudhrat .
Keputusan mufti Profesor Doktor Ali Jum`ah yang berpegang kepada imam/pemimpin ijitihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat diperangi oleh “orang-orang beriman” yang mengada-adakan dalam urusan agama yakni mengada-adakan kewajiban yang tidak diwajibkanNya, mengada-adakan larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya.
Kewajiban-kewajiban lain yang diada-adakan oleh mereka yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla dan RasulNya dan tidak pula pernah disampaikan oleh pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat sebagai kewajibanNya yang jika ditinggalkan berdosa antara lain
a. Kewajiban bagi pria untuk bercelana di atas mata kakib. Kewajiban bagi pria untuk berjenggot.
dan kewajiban-kewajiban yang diada-adakan lainnya
Mereka membuat-buat larangan yang tidak pernah dilarang oleh Allah Azza wa Jalla maupun oleh RasulNya. Mereka membuat larangan berdasarkan kaidah yang tidak berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya).
Mereka memerangi orang-orang beriman yang berbeda pemahaman dengan mereka seperti yang dialami oleh mufti mesir di atas.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Jika bersyahadat sidqan min qalbihi maka mereka akan mengikuti sunnah Rasulullah untuk tidak mencela, menghujat, memperolok-olok, merendahkan atau bahkan membunuh manusia yang telah bersyahadat tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam Oleh karenanya kita sebaiknya ingat selalu bahwa manusia yang telah bersyahadat adalah bersaudara.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” ( Qs. Al-Hujjarat :10)
Tidak akan masuk surga bagi mereka yang tidak menyempurnakan keimanannya dengan mencintai saudara muslimnya.
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai." (HR Muslim)
Wassalam
Kenapa mereka begitu terhadap kita ?? Karena mereka berilmu tidak bersanad, dan setiap faham yg keluar dari mereka akhirnya malah menusuk kepada guru2 mereka sendiri, dan ulama salafush sholihin yang tak pernah menyakiti mereka, untuk itu orang ahlussunnah sejati pasti punya sanad dalam keilmuannya dan selama sanad itu bersambung kepada Baginda Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam kita akan terjadi dari kejahatan faham kita sendiri
Salam, alhamdulillah, SubhanAllah, syukur atas nikmatnya, terima kasih atas penulisan di atas menyasarkan kita sebagai pembaca di mana aliran pegangan kita ddlm beramal dan beribadah, semoga Allah Azzawajalla sentiasa merahmati si penulis dan perkongsian ilmu dan kefahaman dlm beramal dan beribadah.. SubhanAllah..
ردحذفإرسال تعليق