Fatwa itu menurut ulama ushul mendefinisikan
بيان حكم الله فى واقعة بغير الزام
Penjelasan hukum Allah terkait satu problematika tanpa ada kelaziman. Orang yang berfatwa disebut dengan mufti. Mufti adalah orang yang menjelaskan hukum Allah terkait problematika yang terjadi. Penjelasannya tidak bersifat mengikat seperti seorang qadhi/hakim.
Maknanya ketika ada satu problematika yang dihadapi umat terkait persepsi agama terhadap problematika mereka yang perlu penjelasan, lalu mereka bertanya kepada mufti atau mufti memandang suatu permasalahan perlu penjelasan agar masyarakat tidak melakukan kesalahan, mufti kemudian memberikan penjelasan sesuai masalah yang mereka hadapi menurut hukum Allah berdasarkan ijtihad mereka.
Maka fatwa muncul karena kebutuhan masyarakat terhadap penjelasan ulama terkait hukum dalam agama. Fatwa sebagai jalan keluar terhadap kerumitan yang mereka hadapi. Dalam suasana wabah virus Corona ini sudah muncul keputusan lockdown di sebagian negara/wilayah. Dan di sebagian wilayah lain, masih himbauan. Kondisinya tidak biasa. Perlu penjelasan. Fatwa yang menjawabnya.
Dengan adanya keputusan lockdown, umat pasti bertanya, amaliyah umat yang disyariatkan berjamaah bagaimana melaksanakannya? Kalau tidak dijelaskan, umat takut dianggap melanggar syariat. Mereka tidak mau berdosa. Maka Penjelasan mufti menjadi jalan keluar dari keresahan mereka.
Al-Qur'an perintahkan umat untuk bertanya dalam urusan agama yang mereka tidak tahu. Dalam QS : al-Anbiya': 7 dijelaskan "maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”
Fatwa terkait ibadah di saat virus Corona saat ini muncul dari personal dan lembaga yang sangat kapabel untuk berfatwa. Al Azhar mengeluarkan penjelasan melalui Komite Ulama Senior yang beranggotakan 40 ulama pakar dalam berbagai disiplin keilmuan islam dan dipimpin oleh Grand Syaikh al Azhar. Mereka adalah orang-orang hafal Al-Qur'an, ilmu-ilmu Al-Qur'an, tafsirnya, mereka menguasai hadis dari kitab-kitab induk otoritatif, ilmu hadis dan syarahnya. Mereka menguasai ilmu memahami dan mempergunakan dalil-dalil syariat. Di Indonesia, MUI juga telah mengeluarkan fatwa. Umat tinggal ikuti.
Para ahli ketika berfatwa, jika benar mereka dapat pahala 2 dan jika salah mereka dapat pahala 1. Tidak ada dosa. Orang awam kalau beramal tanpa ilmu, amalnya tertolak, tidak diterima. Orang-orang tidak ahli fatwa, jika memaksakan diri berfatwa, bisa berdosa bahkan diancam dengan neraka. Imam Darimi meriwayatkan "orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka".
Mereka yang berfatwa adalah orang-orang yang tidak perlu diajarkan dengan keyakinan terhadap taqdir Allah, takut kepada Allah, dan memahami fadhilah shalat berjamaah. Justru kepada mereka tempat bertanya kita. Jika tidak ingin salah apalagi celaka dalam urusan agama.
Dari Sahabat Jabir berkata, “Kami pernah bepergian, kemudian salah seorang dari kami terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian ia bermimpi basah dan bertanya kepada sahabatnya, “apakah padaku ada keringanan untuk bertayamum?”. Maka sahabatnya mengatakan, “kami tidak menemukan keringanan untukmu sedang kamu mampu menggunakan air”, sehingga ia pun mandi, kemudian mati. Maka ketika kembali dan menemui Rasullah kami pun menceritakan hal tersebut, dan beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya dan semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat tadi tidak tahu adalah bertanya. Padahal cukup baginya hanya dengan bertayamum dan menutup lukanya dengan kain kemudian mengusapnya.” (HR. Abu Daud)
Ternyata wafatnya sahabat di atas membuat Rasul marah dan beliau bersabda “obat dari keitidaktahuan adalah bertanya". Jangan asal-asalan. Jangan hanya ikut perasaan. Tidak boleh sekedar emosional dan mengedepankan semangat.
Fatwa ulama keluar setelah melakukan kajian komprehensif terhadap problematika yang muncul di tengah masyarakat. Mereka mengumpulkan semua informasi, data, dan melakukan riset. Lalu mereka mensinkronkan problematika yang dikaji dengan nash melalui mengkaji dalil semaksimal yang mereka bisa dengan kedalaman dan keluasan ilmu. Ada kerumitan memahami dalil yang begitu banyak disertai kemampuan mumpuni untuk mengkaitkan dengan realita. Mereka mampu menyelesaikannya.
Cerita dalam hadis Nabi diatas mengajarkan kita bahwa kondisi “luar biasa” itu butuh ilmu yang mendalam dan pengkajian panjang yang dilakukan mereka yang berkompeten dengan disiplin ilmu yang lama mereka geluti. Tidak sekedar itu, dibutuhkan ketaqwaan dan keikhlasan yang super dalam merumuskan sebuah fatwa.
Maka ketika dokter bicara medis, selain dokter lebih baik diam. Ketika ahli farmasi bicara, selain apoteker sebaiknya diam. Begitu juga ketika para ulama memberikan arahan maka yang bukan ulama pun lebih baik mendengarkan. Jika tidak ingin celaka.
_________
Sumber: Ustadz Alnof Dinar
بيان حكم الله فى واقعة بغير الزام
Penjelasan hukum Allah terkait satu problematika tanpa ada kelaziman. Orang yang berfatwa disebut dengan mufti. Mufti adalah orang yang menjelaskan hukum Allah terkait problematika yang terjadi. Penjelasannya tidak bersifat mengikat seperti seorang qadhi/hakim.
Maknanya ketika ada satu problematika yang dihadapi umat terkait persepsi agama terhadap problematika mereka yang perlu penjelasan, lalu mereka bertanya kepada mufti atau mufti memandang suatu permasalahan perlu penjelasan agar masyarakat tidak melakukan kesalahan, mufti kemudian memberikan penjelasan sesuai masalah yang mereka hadapi menurut hukum Allah berdasarkan ijtihad mereka.
Maka fatwa muncul karena kebutuhan masyarakat terhadap penjelasan ulama terkait hukum dalam agama. Fatwa sebagai jalan keluar terhadap kerumitan yang mereka hadapi. Dalam suasana wabah virus Corona ini sudah muncul keputusan lockdown di sebagian negara/wilayah. Dan di sebagian wilayah lain, masih himbauan. Kondisinya tidak biasa. Perlu penjelasan. Fatwa yang menjawabnya.
Dengan adanya keputusan lockdown, umat pasti bertanya, amaliyah umat yang disyariatkan berjamaah bagaimana melaksanakannya? Kalau tidak dijelaskan, umat takut dianggap melanggar syariat. Mereka tidak mau berdosa. Maka Penjelasan mufti menjadi jalan keluar dari keresahan mereka.
Al-Qur'an perintahkan umat untuk bertanya dalam urusan agama yang mereka tidak tahu. Dalam QS : al-Anbiya': 7 dijelaskan "maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”
Fatwa terkait ibadah di saat virus Corona saat ini muncul dari personal dan lembaga yang sangat kapabel untuk berfatwa. Al Azhar mengeluarkan penjelasan melalui Komite Ulama Senior yang beranggotakan 40 ulama pakar dalam berbagai disiplin keilmuan islam dan dipimpin oleh Grand Syaikh al Azhar. Mereka adalah orang-orang hafal Al-Qur'an, ilmu-ilmu Al-Qur'an, tafsirnya, mereka menguasai hadis dari kitab-kitab induk otoritatif, ilmu hadis dan syarahnya. Mereka menguasai ilmu memahami dan mempergunakan dalil-dalil syariat. Di Indonesia, MUI juga telah mengeluarkan fatwa. Umat tinggal ikuti.
Para ahli ketika berfatwa, jika benar mereka dapat pahala 2 dan jika salah mereka dapat pahala 1. Tidak ada dosa. Orang awam kalau beramal tanpa ilmu, amalnya tertolak, tidak diterima. Orang-orang tidak ahli fatwa, jika memaksakan diri berfatwa, bisa berdosa bahkan diancam dengan neraka. Imam Darimi meriwayatkan "orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka".
Mereka yang berfatwa adalah orang-orang yang tidak perlu diajarkan dengan keyakinan terhadap taqdir Allah, takut kepada Allah, dan memahami fadhilah shalat berjamaah. Justru kepada mereka tempat bertanya kita. Jika tidak ingin salah apalagi celaka dalam urusan agama.
Dari Sahabat Jabir berkata, “Kami pernah bepergian, kemudian salah seorang dari kami terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian ia bermimpi basah dan bertanya kepada sahabatnya, “apakah padaku ada keringanan untuk bertayamum?”. Maka sahabatnya mengatakan, “kami tidak menemukan keringanan untukmu sedang kamu mampu menggunakan air”, sehingga ia pun mandi, kemudian mati. Maka ketika kembali dan menemui Rasullah kami pun menceritakan hal tersebut, dan beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya dan semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat tadi tidak tahu adalah bertanya. Padahal cukup baginya hanya dengan bertayamum dan menutup lukanya dengan kain kemudian mengusapnya.” (HR. Abu Daud)
Ternyata wafatnya sahabat di atas membuat Rasul marah dan beliau bersabda “obat dari keitidaktahuan adalah bertanya". Jangan asal-asalan. Jangan hanya ikut perasaan. Tidak boleh sekedar emosional dan mengedepankan semangat.
Fatwa ulama keluar setelah melakukan kajian komprehensif terhadap problematika yang muncul di tengah masyarakat. Mereka mengumpulkan semua informasi, data, dan melakukan riset. Lalu mereka mensinkronkan problematika yang dikaji dengan nash melalui mengkaji dalil semaksimal yang mereka bisa dengan kedalaman dan keluasan ilmu. Ada kerumitan memahami dalil yang begitu banyak disertai kemampuan mumpuni untuk mengkaitkan dengan realita. Mereka mampu menyelesaikannya.
Cerita dalam hadis Nabi diatas mengajarkan kita bahwa kondisi “luar biasa” itu butuh ilmu yang mendalam dan pengkajian panjang yang dilakukan mereka yang berkompeten dengan disiplin ilmu yang lama mereka geluti. Tidak sekedar itu, dibutuhkan ketaqwaan dan keikhlasan yang super dalam merumuskan sebuah fatwa.
Maka ketika dokter bicara medis, selain dokter lebih baik diam. Ketika ahli farmasi bicara, selain apoteker sebaiknya diam. Begitu juga ketika para ulama memberikan arahan maka yang bukan ulama pun lebih baik mendengarkan. Jika tidak ingin celaka.
_________
Sumber: Ustadz Alnof Dinar
Post a Comment