Imam Syafi’i layak disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan ilmu usul fikih.
lmu usul fikih, sebagai suatu disiplin ilmu, pertama kali disusun oleh Imam Syafi'i pada abad ke-2 Hijriah. Prof Muhammad Abu Zahrah dalam Ushul Fiqih, mengungkapkan, usul fikih tumbuh bersama-sama dengan ilmu fikih. Hanya saja, ilmu fikih dibukukan lebih dahulu dibandingkan usul fikih.
"Dengan tumbuhnya ilmu fikih, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Metode itu tak lain adalah usul fikih," ungkap Prof Abu Zahra. Menurut Ensiklopedia Islam, sebagai suatu teori yang belum disistematisasikan, metode-metode yang digunakan dalam menetapkan hukum dari Al-Quran dan sudah ada bibitnya sejak zaman Rasulullah SAW.
Sehingga, menurut Ensiklopedi Islam, fikih dan usul fikih muncul bersamaan diawali sejak zaman risalah. Prof Abu Zahrah mengungkapkan, sebagai produk ijtihad, fikih lahir pada zaman sahabat. Dalam berijtihad, tentu saja para sahabat menggunakan kaidah usul fikih, meskipun pada era itu belum tersusun sebagai suatu disiplin ilmu.
"Para sahabat, seperti Ibnu Mas'ud, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Khaththab tak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar dan batasan," ujar Prof Abu Zahrah. Ia mencontohkan, ketika Ibnu Mas'ud menetapkan fatwa bahwa iddah-nya perempuan yang ditinggal mati oleh suami, pada saat sedang hamil adalah sampai melahirkan.
Ibnu Mas'ud mendasarkan fatwanya itu pada Al-Quran surah a-Thalaq ayat 4. "Dan perempuan-perempuan yang hamil. Waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya." Ibnu Mas'ud menetapkan fatwanya itu berdasarkan asumsi bahwa surah at-Thalaq turun setelah surah al-Baqarah.
"Cara ini mengisyaratkan pada satu kaidah usul fikih bahwa ayat yang turun kemudian ( akhir ) me-nasakh ( menghapus ) ayat yang turun terlebih dahulu atau men-takhsis-nya.” Fakta itu, menurut Prof Abu Zahrah, membuktikan bahwa cara-cara penetapan hukum pada zaman sahabat telah menggunakan metode usul fikih.
Menurut Ensiklopedi Islam, upaya untuk menentukan suatu peristiwa yang tak ada nashnya dalam Al-Quran dan sunah semakin meluas di zaman tabiin. Ketika itu, masalah yang muncul di tengah-tengah umat semakin kompleks. Sehingga, para ulama, seperti Sa'id bin Musayyab di Madinah, Alqamah bin Waqqash al-Laitsi dan Ibrahim an-Nakhai di Irak, serta Hasan al-Basri di Basrah mengeluarkan fatwa.
"Dalam berfatwa mereka merujuk pada Al-Quran, sunah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma, qiyas, dan maslahah mursalah ( sesuatu yang mendatangkan kebaikan )," tutur Prof Satria Effendi Muh Zein dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pada masa itu, kata dia, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan hujah atau dalil hukum, dan tentang kesepakatan penduduk Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma.
Sesudah Tabiin
Metode ijtihad menjadi semakin jelas pada masa sesudah tabiin. Masa ini dikenal sebagai era munculnya para imam mujtahid, khususnya yang empat; Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad. "Pada periode ini, metode-metode usul fikih mencapai kesempurnaannya," tulis Ensiklopedi Islam. Sebab, setiap imam menciptakan metode istinbath-nya ( cara menarik hukum dari dalil ) .
Abu Hanifah atau Imam Hanafi, misalnya, membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan Al-Quran, hadis, dan fatwa-fatwa sahabat yang disepakati. "Imam Hanafi sama sekali tak mau mengambil pendapat para tabi'in, karena dia berpendapat bahwa mereka ( sederajat ) dengan dirinya," papar Prof Abu Zahrah.
Selain itu, papar Prof Abu Zahrah, dalam berijtihad, Imam Hanafi menyamakan antara qiyas dan istihsan. Seorang muridnya bernama Muhammad Ibnu Hasan as-Syaibani mengatakan, "Para pengikut Abu Hanifah berbantah-bantahan dengan beliau dalam masalah qiyas. Jika beliau mengatakan 'beristihsanlah', maka tak ada seorang pun yang melanjutkan perdebatan itu.
" Berbeda dengan Imam Hanafi, Imam Maliki memiliki metode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan pada amal ( tradisi ) penduduk Madinah. Hal itu dijelaskan di dalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadis, serta kritiknya terhadap hadis, seperti yang dilakukan oleh Imam Shairafi al-Mahir.
Era penyusunan Usul Fikih
Di penghujung abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah, usul fikih memasuki masa kelahiran yang sebenarnya. Adalah Imam Syafi'i, seorang ulama dan cendekiawan yang berasal dari bangsa Quraisy, tampil sebagai peramu, serta pembuat sistematika, dan membukukan usul fikih.
Menurut Abdul Wahab Abu Sulaiman, upaya pembukuan usul fikih sejalan dengan perkembangan ilmu keislaman di era itu. "Perkembangan pesat ilmu keislaman dimulai pada era kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid ( 145 H/763 H - 193 H/809 M )," papar Prof Satria. Pada masa itulah, peradaban Islam tengah mengalami era keemasan.
"Imam Syafi'i telah memperoleh peninggalan hukum-hukum fikih yang diwariskan oleh sahabat, tabiin, dan para imam yang telah mendahuluinya," papar Prof Abu Zahrah. Selain itu, sang imam juga memiliki rekaman hasil diskusi antara aliran fikih yang bermacam-macam. Sehingga, Imam Syafi'i mendapatkan gambaran yang konkret antara fikih ahli Madinah dan fikih ahli Irak.
Bermodalkan itu semua ditambah pengetahuannya tentang fikih Madinah yang dipelajarinya dari Imam Malik, dan fikih Irak yang dipelajari dari Imam Muhammad bin Hasan, serta fikih Makkah, serta kecerdasannya yang luar biasa, Imam Syafi'i kemudian menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah.
"Kaidah-kaidah itulah yang akhirnya disebut usul fikih," papar Prof Abu Zahrah. Menurut Ensiklopedi Islam, kajian keilmuan usul fikih pertama sebagai sebuah disiplin ilmu ditulis Imam Syafi'i dalam kitab yang bertajuk ar-Risalah.
Prof Satria mengungkapkan, kitab itu dinamakan ar-Risalah, yang berarti "sepucuk surat", karena pada awalnya hanyalah lembaran surat yang dikirim Imam Syafi'i kepada Abdurahman al-Mahdi ( wafat 814 M ), seorang pembesar dan ahli hadis ketika itu.
Munculnya ar-Risalah, menurut Prof Satria, sebagai fase awal perkembangan usul fikih, sebagai sebuah disiplin ilmu. Secara umum, pembicaraan dalam kitab itu berkisar pada landasan-landasan pembentukan fikih, yakni Al-Quran, sunah Rasulullah SAW, ijma, fatwa sahabat, dan qiyas. "Imam Syafi'i adalah orang yang paling berhak disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan ilmu usul fikih," papar Prof Abu Zahrah.
_________________________________________________________
■ Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 19 Juni 2011 | 17 Rajab 1432 H Oleh : Heri Ruslan
lmu usul fikih, sebagai suatu disiplin ilmu, pertama kali disusun oleh Imam Syafi'i pada abad ke-2 Hijriah. Prof Muhammad Abu Zahrah dalam Ushul Fiqih, mengungkapkan, usul fikih tumbuh bersama-sama dengan ilmu fikih. Hanya saja, ilmu fikih dibukukan lebih dahulu dibandingkan usul fikih.
"Dengan tumbuhnya ilmu fikih, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Metode itu tak lain adalah usul fikih," ungkap Prof Abu Zahra. Menurut Ensiklopedia Islam, sebagai suatu teori yang belum disistematisasikan, metode-metode yang digunakan dalam menetapkan hukum dari Al-Quran dan sudah ada bibitnya sejak zaman Rasulullah SAW.
Sehingga, menurut Ensiklopedi Islam, fikih dan usul fikih muncul bersamaan diawali sejak zaman risalah. Prof Abu Zahrah mengungkapkan, sebagai produk ijtihad, fikih lahir pada zaman sahabat. Dalam berijtihad, tentu saja para sahabat menggunakan kaidah usul fikih, meskipun pada era itu belum tersusun sebagai suatu disiplin ilmu.
"Para sahabat, seperti Ibnu Mas'ud, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Khaththab tak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar dan batasan," ujar Prof Abu Zahrah. Ia mencontohkan, ketika Ibnu Mas'ud menetapkan fatwa bahwa iddah-nya perempuan yang ditinggal mati oleh suami, pada saat sedang hamil adalah sampai melahirkan.
Ibnu Mas'ud mendasarkan fatwanya itu pada Al-Quran surah a-Thalaq ayat 4. "Dan perempuan-perempuan yang hamil. Waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya." Ibnu Mas'ud menetapkan fatwanya itu berdasarkan asumsi bahwa surah at-Thalaq turun setelah surah al-Baqarah.
"Cara ini mengisyaratkan pada satu kaidah usul fikih bahwa ayat yang turun kemudian ( akhir ) me-nasakh ( menghapus ) ayat yang turun terlebih dahulu atau men-takhsis-nya.” Fakta itu, menurut Prof Abu Zahrah, membuktikan bahwa cara-cara penetapan hukum pada zaman sahabat telah menggunakan metode usul fikih.
Menurut Ensiklopedi Islam, upaya untuk menentukan suatu peristiwa yang tak ada nashnya dalam Al-Quran dan sunah semakin meluas di zaman tabiin. Ketika itu, masalah yang muncul di tengah-tengah umat semakin kompleks. Sehingga, para ulama, seperti Sa'id bin Musayyab di Madinah, Alqamah bin Waqqash al-Laitsi dan Ibrahim an-Nakhai di Irak, serta Hasan al-Basri di Basrah mengeluarkan fatwa.
"Dalam berfatwa mereka merujuk pada Al-Quran, sunah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma, qiyas, dan maslahah mursalah ( sesuatu yang mendatangkan kebaikan )," tutur Prof Satria Effendi Muh Zein dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pada masa itu, kata dia, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan hujah atau dalil hukum, dan tentang kesepakatan penduduk Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma.
Sesudah Tabiin
Metode ijtihad menjadi semakin jelas pada masa sesudah tabiin. Masa ini dikenal sebagai era munculnya para imam mujtahid, khususnya yang empat; Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad. "Pada periode ini, metode-metode usul fikih mencapai kesempurnaannya," tulis Ensiklopedi Islam. Sebab, setiap imam menciptakan metode istinbath-nya ( cara menarik hukum dari dalil ) .
Abu Hanifah atau Imam Hanafi, misalnya, membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan Al-Quran, hadis, dan fatwa-fatwa sahabat yang disepakati. "Imam Hanafi sama sekali tak mau mengambil pendapat para tabi'in, karena dia berpendapat bahwa mereka ( sederajat ) dengan dirinya," papar Prof Abu Zahrah.
Selain itu, papar Prof Abu Zahrah, dalam berijtihad, Imam Hanafi menyamakan antara qiyas dan istihsan. Seorang muridnya bernama Muhammad Ibnu Hasan as-Syaibani mengatakan, "Para pengikut Abu Hanifah berbantah-bantahan dengan beliau dalam masalah qiyas. Jika beliau mengatakan 'beristihsanlah', maka tak ada seorang pun yang melanjutkan perdebatan itu.
" Berbeda dengan Imam Hanafi, Imam Maliki memiliki metode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan pada amal ( tradisi ) penduduk Madinah. Hal itu dijelaskan di dalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadis, serta kritiknya terhadap hadis, seperti yang dilakukan oleh Imam Shairafi al-Mahir.
Era penyusunan Usul Fikih
Di penghujung abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah, usul fikih memasuki masa kelahiran yang sebenarnya. Adalah Imam Syafi'i, seorang ulama dan cendekiawan yang berasal dari bangsa Quraisy, tampil sebagai peramu, serta pembuat sistematika, dan membukukan usul fikih.
Menurut Abdul Wahab Abu Sulaiman, upaya pembukuan usul fikih sejalan dengan perkembangan ilmu keislaman di era itu. "Perkembangan pesat ilmu keislaman dimulai pada era kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid ( 145 H/763 H - 193 H/809 M )," papar Prof Satria. Pada masa itulah, peradaban Islam tengah mengalami era keemasan.
"Imam Syafi'i telah memperoleh peninggalan hukum-hukum fikih yang diwariskan oleh sahabat, tabiin, dan para imam yang telah mendahuluinya," papar Prof Abu Zahrah. Selain itu, sang imam juga memiliki rekaman hasil diskusi antara aliran fikih yang bermacam-macam. Sehingga, Imam Syafi'i mendapatkan gambaran yang konkret antara fikih ahli Madinah dan fikih ahli Irak.
Bermodalkan itu semua ditambah pengetahuannya tentang fikih Madinah yang dipelajarinya dari Imam Malik, dan fikih Irak yang dipelajari dari Imam Muhammad bin Hasan, serta fikih Makkah, serta kecerdasannya yang luar biasa, Imam Syafi'i kemudian menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah.
"Kaidah-kaidah itulah yang akhirnya disebut usul fikih," papar Prof Abu Zahrah. Menurut Ensiklopedi Islam, kajian keilmuan usul fikih pertama sebagai sebuah disiplin ilmu ditulis Imam Syafi'i dalam kitab yang bertajuk ar-Risalah.
Prof Satria mengungkapkan, kitab itu dinamakan ar-Risalah, yang berarti "sepucuk surat", karena pada awalnya hanyalah lembaran surat yang dikirim Imam Syafi'i kepada Abdurahman al-Mahdi ( wafat 814 M ), seorang pembesar dan ahli hadis ketika itu.
Munculnya ar-Risalah, menurut Prof Satria, sebagai fase awal perkembangan usul fikih, sebagai sebuah disiplin ilmu. Secara umum, pembicaraan dalam kitab itu berkisar pada landasan-landasan pembentukan fikih, yakni Al-Quran, sunah Rasulullah SAW, ijma, fatwa sahabat, dan qiyas. "Imam Syafi'i adalah orang yang paling berhak disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan ilmu usul fikih," papar Prof Abu Zahrah.
_________________________________________________________
■ Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 19 Juni 2011 | 17 Rajab 1432 H Oleh : Heri Ruslan
Post a Comment