Jenis-Jenis Bid'ah Berdasarkan Hukum Syariat (Wajib, [Mandub] Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram)

Jenis-Jenis Bid'ah Berdasarkan Hukum Syariat
(Wajib, [Mandub] Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram)

Pada pembahasan ini dijelaskan bahwa para ulama telah membagi bid'ah berdasarkan hukum syariat yang lima dan tidak menyatakan satu bagian pun darinya yang tercela. Hukum lima itu adalah wajib, mandub (sunah), mubah, makruh, dan haram.
 
Al Qarafi telah menjelaskannya dengan penjelasan yang baik —dan dasar dari pendapatnya tersebut adalah pendapat syaikhnya, Izzuddin bin Abdus-Salam, inilah nash yang telah ditulisnya, yang akan saya paparkan— ia berkata:
1. Hukum Syariat Pertama: Wajib
Semua yang berkaitan dengan kaidah-kaidah yang wajib dan dalil-dalilnya dari syariat, seperti mengumpulkan Al Qur' an dan hukum-hukum syariat dalam satu tulisan karena dikhawatirkan kepunahannya, dan bahwa menyampaikan syariat untuk orang-orang setelah kita hukumnya wajib secara ijma', maka mengabaikannya hukumnya haram (secara ijma'). Oleh karena itu, perkara seperti ini tidak selayaknya dijadikan perselisihan tentang kewajibannya.

2. Hukum Syariat Kedua: Haram
Semua bentuk bid'ah yang berkaitan dengan kaidah-kaidah pengharaman dan dalil-dalilnya berasal dari syariat, seperti bea cukai dan perkara-perkara baru, semuanya adalah bagian dari kezhaliman. Demikian halnya perkara-perkara baru yang bersebrangan dengan kaidah-kaidah syar'iah, seperti: mengutamakan orang-orang bodoh atas para ulama, mengangkat pemimpin yang mengatur syariat dari orang yang bukan ahlinya, namun dengan jalan warisan, dan menjadikan seseorang menjadi direktur lantaran bapaknya orang terpandang.
 
3. Hukum Syariat Ketiga: Mandub (Sunah)
Di antara hal-hal bid'ah terdapat perkara yang mandub, yaitu semua yang berkaitan dengan kaidah-kaidah mandub dan dalil-dalilnya, seperti shalat tarawih, merapikan penampilan para imam dan hakim serta para pemimpin yang berseberangan dengan apa-apa yang telah diperbuat oleh para sahabat RA, dengan alasan bahwa kemaslahatan dan tujuan syariat tidak dapat terealisasikan kecuali mengagungkan para pemimpin dalam jiwa manusia. Sedangkan masyarakat pada masa sahabat RA kebanyakan mengagungkan mereka atas dasar agama dan yang dahulu berhijrah. Kemudian hukum tersebut berganti dan telah selesai masanya serta datang masa yang baru, dan mereka tidak mengagungkan para pemimpin kecuali dengan penampilan, maka ditekankan penggunaan penampilan sampai akhimya menjadi al mashalih. 

Umar bin Khaththab RA hanya makan roti gandum yang kasar dan garam, tetapi beliau mengharuskan para pegawainya untuk makan setengah daging kambing, karena beliau tahu bahwa jika keadaan yang dijalankannya dikerjakan oleh orang lain, maka akan berbuah penghinaan di dalam jiwa manusia dan mereka tidak akan menghormatinya dan menentangnya. Oleh karena itu, ia berdalih untuk meletakkan orang lain pada posisi yang berbeda yang dengannya hukum dapat terpelihara.

Tatkala beliau datang ke negeri Syam dan mendapatkan Mu'awiyah bin Abu Sufyan telah membentuk para pengawal, membuat benteng yang kokoh, memakai pakaian kebesaran, dan berjalan seperti aturan para raja, beliau bertanya kepadanya tentang hal itu. Mua'awiyah menjawab, "Sesungguhnya kami di negeri ini membutuhkan hal ini." Beliau berkata, "Saya tidak memerintahkanmu dan tidak melarangmu." Artinya, "Kamu lebih mengetahui keadaanmu; benar-benar membutuhkannya atau tidak." Itulah dasar yang diletakkan oleh Umar, sebab kondisi para penguasa dan pemimpin berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi negeri, zaman serta keadaannya. Demikian halnya dengan hukum dan siasat, membutuhkan pembaharuan lembaran-lembarannya bahkan yang demikian itu menjadi wajib pada suatu keadaan.
 
4. Hukum Syariat Keempat: Makruh
Semua yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dimakruhkan dari syariat dan kaidah-kaidahnya, seperti pengkhususan hari-hari yang mempunyai keutamaan untuk dipakai beribadah. Yang demikian ini telah dijelaskan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah SAW melarang pengkhususan hari Jum'at sebagai hari berpuasa, atau malam harinya dengan shalat malam.
 

Dalam pembahasan ini terdapat penambahan pada perkara mandub yang telah ditentukan, seperti mengucapkan tasbih sebanyak 33 kali setelah shalat fardhu dan menambahkannya menjadi seratus, dan mengeluarkan satu sha' sebagai zakat fitrah dan menjadikannya sepuluh sha' melampaui batas yang telah ditentukan, karena penambahan pada perkara tersebut adalah keangkuhan terhadap Pembuat syariat dan ketidaksopanan terhadap-Nya.
 

Bahkan itu adalah kebiasaan para penguasa; jika menentukan sesuatu maka harus ditaati, dan jika tidak menaatinya maka dianggap tidak beradab. Sedangkan penambahan atau pengurangan pada perkara yang wajib lebih dilarang, karena akan mengakibatkan adanya anggapan bahwa sesuatu yang wajib sebagai sumber dan begitu pula penambahan atasnya, oleh sebab itu, Malik RA melarang untuk menyambung puasa sunah enam hari pada bulan Syawwal, agar tidak dianggap bagian dari puasa Ramadhan. 

Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Musnad-nya 15 bahwa seorang laki-laki masuk ke dalam masjid Rasulullah SAW, kemudian shalat fardu dan langsung berdiri untuk mengerjakan shalat dua rakaat, maka Umar bin Khaththab RA berkata kepadanya, "Duduklah hingga kamu dapat memisahkan antara shalat fardhu dengan shalat sunahmu, dan beginilah celakanya orang-orang sebelum kita." Rasulullah SAW lalu bersabda, "Allah telah memberikan kepadamu kebenaran wahai lbnu Khaththab."
 

Maksud Umar, orang-orang sebelum kita telah menyambung shalat sunah dengan shalat fardhu, sehingga mereka berkeyakinan bahwa semua shalat tersebut hukumnya wajib, padahal merubah syariat secara mufakat hukumnya haram.

5. Hukum Syariat Kelima: Mubah
Semua yang berkaitan dengan dalil-dalil yang mubah dan kaidah- kaidahnya dari syariat, seperti membuat alat pengayak untuk tepung, dalam perkataan ulama, "Sesuatu yang baru yang pertama kali diciptakan setelah wafatnya Rasulullah SAW yaitu membuat alat pengayak tepung." Sebab membuat gandum menjadi lunak merupakan perkara yang mubah, sehingga sarananya pun mubah. Bid'ah jika dipaparkan, pasti bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat dan dalil-dalilnya, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah hukum pasti berhubungan dengan hal yang diwajibkan atau diharamkan, atau selain keduanya. Kita tidak boleh melihat perkara tersebut dari sisi bid'ah dengan mengabaikan sesuatu yang berkenaan dengan hukumnya, sebab semua kebaikan hanya dengan mengikuti Sunnah dan semua keburukan dikarenakan perbuatan bid'ah.

Setelah membagi hukum-hukumnya menjadi lima bagian; syaikhnya mengomentari kaidah-kaidah yang dibuatnya dalam pembahasan tentang bid'ah, diantaranya bahwa cara untuk mengetahui perkara tersebut adalah dengan mempertemukan dengan kaidah-kaidah syariat, apabila masuk dalam kategori kaidah wajib maka hukumnya wajib, hingga perkataannya, "Dan bid'ah yang wajib memiliki contoh."
 

a. Mempelajari sesuatu yang dapat dipahami dari firman Allah SWT dan sabda Rasul SAW. Bukankah menjaga syariat hukumnya wajib?
b. Menjaga arti-arti yang aneh dalam Al Qur’an dan Sunnah dari segi bahasa.
c Menulis dan membukukan ilmu ushul fikih.
d. Pembahasan tentang ilmu AlJarah wa At-Ta’dil (ilmu yang mempelajari tentang cacat dan tidaknya perawi hadits), untuk membedakan riwayat yang shahih dengan riwayat yang salah.

la kemudian berkata, "Bid'ah yang diharamkan mempunyai permisalan (diantaranya): aliran Qadariyah, aliran Jabariyah, aliran Murjiah, serta aliran Mujassamah, sedangkan menentang mereka termasuk kategori bid'ah yang wajib."
 

la berkata, "Bid'ah yang mandub (sunah) memiliki permisalan (diantaranya): membuat benteng, sekolah, dan jembatan. (Diantaranya): semua perbuatan baik yang belum ditentukan pada masa-masa pertama. (Diantaranya): pembahasan tentang pendalaman ilmu tasawuf dan tentang debat. (Diantaranya): mendirikan tempat perkumpulan untuk membahas dalil-dalil dari suatu permasalahan, jika bertujuan semata-mata mencari keridhaan Allah."
 

la berkata, "Perkara makruh mempunyai permisalan (diantaranya):
mewamai masjid dan menghiasi mushaf Al Qur’an. 

Adapun membaca Al Qur’an dengan dibuat-buat yang menyebabkan perubahan arti dari bahasa Arab asli, maka pendapat yang benar adalah termasuk bid'ah yang diharamkan." la berkata, "Bid'ah yang mubah mempunyai permisalan (diantaranya):
berjabat tangan setelah shalat Ashar dan Subuh. 

(Diantaranya): bersenang- senang di dalam makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, memakai kopiah, serta melebarkan imamah. Terdapat perselisihan pada sebagian perkara tersebut, sebagian ulama menjadikannya bid'ah yang dimakruhkan, sedangkan sebagian lainnya menjadikannya sebagai Sunnah yang telah dikerjakan pada masa Rasulullah SAW dan setelah beliau, seperti membaca idsti'adzah dan bismillah dalam shalat."

Jawabannya: Pembagian ini adalah perkara bid'ah yang tidak memiliki dalil syariat, bahkan masing-masing saling bertentangan, karena hakikat bid'ah yang sesungguhnya adalah ketiadaan dalil-dalil syariat, baik dari nash-nash syariat maupun dari kaidah-kaidahnya. Jika terdapat dalil-dalil dari syariat tentang ketentuan wajib, sunah, dan mubah, maka tidak disebut bid'ah dan pengamalannya masuk dalam keumuman amal perbuatan yang diperintahkan atau dianjurkan atasnya. Sedangkan penggabungan antara ditetapkannya perkara tersebut sebagai bid'ah dengan dalil-dalilnya yang menunjukkan tentang wajib, sunah, atau mubah, adalah penggabungan antara dua perkara yang bertolak belakang.

Adapun perkara yang dibenci dan yang diharamkan darinya, dapat diterima dari segi statusnya sebagai bid'ah dan bukan dilihat dari sisi yang lain, karena apabila terdapat dalil yang menunjukkan larangan atau kemakruhan terhadap suatu perintah, maka perintah tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai bid'ah, karena dimungkinkan dapat menjadi perbuatan maksiat, seperti pembunuhan, pencurian, dan minum khamer. Dengan demikian, sama sekali tidak terlihat perkara bid'ah yang digambarkan dalam pembagian tersebut selain perkara yang makruh dan yang haram, sebagaimana disebutkan dalam —pembahasan— pembagiannya.

Jadi, apa yang telah disebutkan oleh Al Qarafi dari gurunya tentang kesepakatan terhadap pengingkaran bid'ah, itu benar, sedangkan tentang pembagian bid'ah seperti yang telah disebutkan, itu tidak benar. Bahkan yang sangat mengherankan adalah cerita tentang kesepakatan yang berbenturan dengan perselisihan dan pengetahuan yang menjadikannya hams menyelisihi ijma', maka seakan-akan ia telah mengikuti gurunya dalam pembagian ini tanpa menelitinya terlebih dahulu.

Sesungguhnya Ibnu Abdus-Salam jelas telah menamakan al mashalihul mursalah sebagai bid'ah atas dasar —wallahu a'lam— bahwa hal itu tidak masuk dalam nash-nash tertentu, meski sesuai dengan kaidah-kaidah syariat.

Dari sinilah ia menjadikan kaidah-kaidah tersebut sebagai dalil penilaian yang diberikan kepadanya dengan lafazh bid'ah, yaitu disebabkan ketiadaan dalil tertentu atas permasalahan tersebut, serta penilaiannya yang ditinjau dari keberadaan perkaranya di bawah kaidah-kaidah tersebut. Tatkala suatu perbuatan dibangun atas dasar kaidah-kaidah tersebut, maka menurutnya perbuatan tersebut kedudukannya sama dengan perbuatan yang berada di bawah nash-nash tertentu. Dengan demikian, ia termasuk orang yang setuju dengan al mashalih al mursalah dan menamakannya sebagai bid'ah secara lafazh, seperti Umar bin Khaththab yang menyebut perkumpulan shalat tarawih pada bulan Ramadhan yang dilakukan di dalam masjid sebagai bid'ah (akan dijelaskan selanjutnya, insyaallah).

Sedangkan Al Qarafi tidak mempunyai dalil dalam menukil pembagian tersebut, yang tidak sesuai dengan maksud gurunya atau tidak sesuai dengan pendapat orang bin, karena ia telah menyelisihi semuanya dalam pembagian bid'ah yang dibuatnya, sehingga dirinya menyelisihi ijma'.

Kemudian kami katakan: Adapun perkara yang wajib, telah kami sebutkan sebelumnya dan kami tidak akan mengulanginya lagi. Sedangkan perkara yang haram, maka tidak termasuk bid'ah secara mutlak, tetapi semua perkara tersebut bertentangan dengan perintah yang telah disyariatkan. Jadi, pengharaman memakan harta yang batil tidak menambah sesuatu kecuali dari sisi bahwa ia diletakkan di atas timbangan hukum-hukum syariat yang lazim, seperti zakat yang diwajibkan dan memberi nafkah yang telah ditentukan. Akan dijelaskan permasalahan tersebut pada pembahasan selanjutnya {insyaallah) dan telah dijelaskan ringkasannya dalam bab pertama. Jadi, tidak diperbolehkan untuk menyatakan bahwa ia adalah bid'ah pada pembagian ini tanpa memilah-milah perintah dalam perkara tersebut.

Adapun perkara yang sunah, maka sama sekali tidak termasuk bagian dari bid'ah. Hal ini dapat dilihat secara gamblang ketika memperhatikan contoh yang telah dipaparkan, yaitu shalat tarawih secara berjamaah pada bulan Ramadhan di dalam masjid. Dalam hal ini Nabi SAW telah melaksanakannya di dalam masjid dan orang-orang mengikuti beliau dengan berdiri di belakang.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dzar, ia berkata: Kami berpuasa pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah SAW, dan beliau sama sekali tidak shalat tarawih secara berjamaah bersama kami hingga tersisa tujuh hari, beliau shalat bersama kami hingga tiba sepertiga malam. Ketika tersisa enam hari, beliau tidak lagi shalat bersama kami, dan ketika kurang lima hari beliau shalat bersama kami hingga lewat tengah malam, maka kami kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah! Seandainya engkau jadikan shalat malam ini bagi kami sebagai suatu yang sunnah?" —Perawi berkata— maka beliau menjawab, "Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam hingga berlalu, maka masih terhitung shalat malam baginya"
 

Perawi bercerita, "Ketika tersisa empat hari, beliau tidak melaksanakannya dan ketika tersisa tiga hari beliau mengumpulkan keluarganya dan istri-istrinya serta orang-orang, lalu beliau shalat bersama kami sehingga kami merasa takut akan terlepas dari Al Falah —Perawi berkata—, 'Saya bertanya, 'Apa yang dimaksud Al Falah? Beliau berkata, ' Yaitu sujud.' Kemudian pada hari-hari yang tersisa pada bulan itu beliau tidak melaksanakan shalat bersama kami." At-Tirmidzi juga meriwayatkan sepertinya dan berkata, "Hadits hasan shahih."
 
Namun ketika beliau SAW merasa khawatir akan diwajibkannya shalat tarawih bagi umat, beliau tidak melakukannya, seperti yang diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa suatu malam Rasulullah SAW shalat sunah di masjid, lalu orang-orang shalat seperti shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat dan banyak orang yang ikut shalat, lalu orang-orang berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Nabi SAW tidak keluar untuk mengimami mereka. Ketika pagi hari tiba, beliau berkata,
"Aku telah memperhatikan perbuatan kalian dan tidak ada yang mencegahku keluar kecuali aku khawatir —shalat tersebut— akan diwajibkan atas kalian." Hadits shahih.

Perhatikanlah dalam hadits tersebut yang menerangkan bahwa shalat yang dimaksud hukumnya sunah. Posisi beliau menjadi imam di masjid untuk pertama kalinya merupakan dalil dari dibenarkannya shalat malam di masjid secara berjamaah pada bulan Ramadhan, sedangkan tidak keluarnya beliau pada malam selanjutnya dikarenakan kekhawatiran akan diwajibkannya shalat tersebut dan bukan menandakan larangan untuk mengerjakannya secara mutlak, karena masa beliau adalah masa-masa diturunkannya wahyu dan penentuan syariat, maka mungkin saja diturunkan wahyu atas dirinya jika orang-orang mengerjakannya secara rutin. Ketika hilang sebab-sebab disyariatkannya dengan meninggalnya Rasulullah SAW, maka perkara tersebut kembali kepada hukum asal dan telah ditetapkan pembolehannya tanpa ada yang menghapusnya.

Namun Abu Bakar RA tidak melaksanakannya karena dua perkara:
1. Kemungkinan ia berpendapat bahwa shalat malamnya orang-orang pada akhir malam (seperti yang terbiasa mereka lakukan) lebih utama daripada mengumpulkan mereka di bawah satu imam pada awal malam, hal ini telah disebutkan oleh Ath-Tharthusi.

2. Kemungkinan sebentarnya masa kekhalifahan RA membuatnya belum dapat memperhatikan perkara sunah ini karena kesibukannya menyelesaikan perkara orang-orang yang murtad dan perkara-perkara lainnya yang lebih penting daripada shalat tarawih. "Sesungguhnya diriku tidaklah seperti dirimu, sesungguhnya aku tidur di sisi Tuhanku Dia memberi makan dan minum kepadaku."
Kemudian orang-orang berpuasa wishal dikarenakan mereka telah mengetahui sebab-sebab pelarangannya. Insyaallah akan diterangkan selanjutnya.

Al Qarafi telah menyebutkan beberapa permisalan, seperti penampilan para imam dan para hakim... sampai akhir perkataannya. Perkara tersebut tidak termasuk kategori bid'ah karena:

1. Berpenampilan baik bagi seorang pemimpin atau orang yang mempunyai kedudukan terhormat adalah suatu tuntutan. Nabi SAW juga mempunyai pakaian yang khusus dipakai saat menerima para utusan. Alasannya adalah sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Al Qarafi, bahwa hal tersebut akan menambah wibawa dan lebih menyentuh jiwa untuk menghormati para pemimpin. Contohnya adalah berpenampilan baik untuk menemui orang-orang yang dihormati. Hal ini telah disebutkan di dalam hadits Asyaj Abdul Qais.
 
2. Apabila kita mengakui bahwa tidak terdapat dalil yang khusus mengenai hal ini, maka hal ini masuk dalam pembahasan tentang al mashalih al mursalah, dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa al mashalih al mursalah telah ditetapkan hukumnya dalam syariat. Sedangkan yang diungkapkannya mengenai Umar bin Khaththab RA (hanya makan roti gandum dan mewajibkan pegawainya untuk makan setengah daging kambing), karena di dalamnya tidak ada gambaran pengagungan terhadap pribadi imam, namun ia hanya mewajibkan untuk dirinya sesuai kebutuhannya. Jika tidak demikian, maka setengah daging seekor  kambing untuk setiap pegawainya tidak mungkin akan mencukupinya karena banyaknya anak dan para tamu yang datang serta seluruh keperluan hidupnya; pakaian, kendaraan, serta lainnya. 

Jadi, maksud Ketika Islam mulai menyebar pada masa Umar bin Khaththab RA, ia melihat orang-orang di dalam masjid melaksanakan shalat berkelompok-kelompok —sebagaimana disebutkan didalam khabar— ia berkata, "Jika saya kumpulkan orang-orang atas satu imam, maka lebih baik." Tatkala perkara tersebut telah terlaksana, ia memperingatkan bahwa shalat pada akhir malam yang mereka kerjakan lebih utama. Ulama salaf pun setuju dengan kebenaran dan keputusannya tersebut, karena umat tidak bersepakat atas perkara yang sesat. Seperti yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama ushul bahwa ijma' tidak terbentuk kecuali atas dalil syariat.

Apabila dikatakan, "Umar RA telah menamakannya dengan bid'ah yang baik, seperti dalam perkataannya, 'Bid'ah yang baik seperti ini,' dan jika telah ditetapkan dalam syariat terdapat bid'ah yang baik, maka penilaian baik terhadap bid'ah pun mutlak adanya."

Maka jawabannya: Adapun penamaannya dengan bid'ah, ditinjau dari kenyataan yang terjadi; Rasulullah SAW meninggalkannya dan telah disepakati bahwa pada masa Abu Bakar RA shalat tarawih berjamaah tidak dikerjakan, dan yang dimaksud bukanlah bid'ah dari pengertian yang sesungguhnya.

Adapun yang menamakannya dengan pengertian ini, maka tidak disangkal lagi bahwa pengertiannya akan demikian, dan jika demikian maka hal tersebut tidak dapat dijadikan dalil tentang bolehnya melaksanakan bid'ah seperti yang dimaksud oleh orang yang berpendapat demikian, karena hal itu dinilai termasuk penyelewengan firman Allah dari tujuan yang sebenarnya.
Aisyah RA berkata, "Jika Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan padahal beliau sangat mencintai perbuatan tersebut, maka itu disebabkan khawatirkan beliau akan diwajibkannya shalat tarawih bagi umar bila orang-orang mengerjakannya terus-menerus."

Rasulullah SAW melarang puasa wishal sebagai rahmat bagi umat. beliau bersabda, dari hal tersebut hampir sama dengan makna dari makan roti gandum. Juga karena hal-hal yang berkenaan dengan permasalahan makan dan minum bukan bagian dari memperbagus penampilan ketika berada di antara manusia.
 
Perkataannya: Mereka juga membutuhkan pembaharuan untuk memperbaiki hukum dan mengganti siasat yang lama, bahkan pada kondisi tertentu hal tersebut diharuskan. Pendapat ini perlu diperhatikan dengan baik, karena dalam perkara ini —secara keseluruhannya— dapat diketahui bahwa perkataannya bertentangan dengan perkataannya pada akhir pasal, yaitu "Semua kebaikan terdapat pada pengikutan dan semua keburukan terdapat pada perbuatan bid'ah" dan dengan perkataan yang telah disebutkannya sebelumnya.

Perkataan ini menunjukkan bahwa perbuatan bid'ah secara keseluruhan adalah buruk, maka tidak mungkin bersatu dengan perkara yang diwajibkan. Sedangkan ia telah mengungkapkan bahwa terkadang bid'ah menjadi wajib, dan jika wajib maka harus dilaksanakan, karena bid'ah telah terbebas dari keburukan secara menyeluruh, namun telah berkumpul padanya perintah untuk mengerjakan dan meninggalkannya dan tidak mungkin keduanya dapat dipisahkan —walaupun keduanya dari dua sisi yang berbeda— karena pelaksanaannya mengharuskan penggabungan, dan keduanya bukanlah seperti shalat di rumah yang ditempati secara paksa, sebab dimungkinkan terjadinya pemisahan antara kedua hal ini saat terjadi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa jika diwajibkan maka kewajiban tersebut hanya untuk sesuatu yang khusus, dan telah ditetapkan bahwa keburukan dalam bid'ah hanya ada pada sesuatu yang khusus, sehingga mengharuskan terjadinya pertentangan. Adapun yang secara terperinci, maka memperbaiki hukum pada hal tersebut merupakan kesalahan yang tak dapat diukur.

Adapun tentang siasat, jika sesuai dengan dalil-dalil syariat maka bukan termasuk bid'ah, namun jika tidak sesuai dengannya, maka bagaimana mungkin bisa disandarkan kepadanya? Hal itu menjadi masalah yang diperdebatkan.

Disebutkan pula padaku tentang perkara yang makruh, maka hal itu adalah bid'ah secara global yang tidak diperdebatkan lagi, atau termasuk sikap hati-hati dalam melaksanakan ibadah wajib agar tidak menambah atau mengurangi, dan yang demikian adalah benar, sebab mengurangi dan menambahkannya adalah bid'ah munkar.

Dalam perkara mubah ia menyebutkan tentang masalah alat pengayak tepung, bahwa —pada hakikatnya— permasalahan tersebut tidak menjadi bagian dari bid'ah, namun menjadi bagian dari hidup mewah. Namun tidak dikatakan kepada seseorang yang hidup mewah bahwa dirinya telah berbuat bid'ah. Jika hal ini dianggap sebagai hal yang negatif— maka masuk dalam kategori pemborosan dalam masalah makan, dan hal itu bisa dilihat dari sisi jumlahnya dan cara pemakaiannya. Sedangkan mengayak tepung dengan alat tidak termasuk dua kategori pemborosan tersebut. Apabila ia berlaku boros pada hartanya maka hukumnya makruh, dan jika tidak maka meminta ampun kepada Allah, karena dasar segala sesuatu itu dibolehkan.

Sedangkan semua yang telah disebutkan oleh para sejarawan, bahwa sesuatu yang baru yang pertama kali dilakukan oleh manusia adalah empat perkara; alat pengayak tepung, sesuatu yang membuat kenyang, mencuci kedua tangan dengan air setelah makan, dan makan di atas meja makan.

Semua ini —secara periwayatan hal ini dibenarkan— bukan termasuk bid'ah, namun ia adalah hal lain. Apabila perkara-perkara tersebut termasuk bid'ah, maka kita tidak dapat menerima jika digolongkan ke dalam bid'ah yang mubah, bahkan ia adalah bid'ah yang sesat dan dilarang untuk dikerjakan, dan kami sepakat untuk mengatakannya demikian.

_________________________________________
Al Ithisham - Imam Al-Syatibi Al Maliki

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post