TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN KEMULIAAN PARA NABI DAN SHOLIHIN
Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang lahatnya dengan tangganya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya , lalu berkata :
“Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah, lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah kemudian mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam AlKabir dan Al-Awsath. Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. (Majma’ul Zawaaid jilid 9 hlm. 257).
Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al-Haitsami dalam Majma’u Az-Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perasi hadits shahih.
Sebagaimana Thabarani, Ibnu ‘Abdil Barr juga meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh Al Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh dan mantap, antara sebagian dengan yang lain. Dalam Ithaafu al Adzkiyaa’ hlm 20 , Syaikh Al-Hafidh AlGhimari menyatakan, “Rouh ini kadar kedloifannya tipis versi mereka yang menilainya lemah, sebagaimana dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits.
Karena itu Al-Hafidh Al-Haitsami menggambarkan kedloifan Rouh dengan bahasa yang mengesankan kadar kedloifan yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan, malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai hadits shahih. Bisa dicatat di sini bahwa para Nabi yang Nabi SAW bertawassul dengan kemuliaan mereka di sisi Allah dalam hadits ini dan hadits lain telah wafat. Maka dapat ditegaskan diperbolehkannya tawassul kepada Allah dengan kemuliaan (bil-haq) dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan (ahlul-haq) baik masih hidup maupun sesudah wafat.
_______________________________________________________________
Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang lahatnya dengan tangganya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya , lalu berkata :
“Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah, lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah kemudian mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam AlKabir dan Al-Awsath. Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. (Majma’ul Zawaaid jilid 9 hlm. 257).
Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al-Haitsami dalam Majma’u Az-Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perasi hadits shahih.
Sebagaimana Thabarani, Ibnu ‘Abdil Barr juga meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh Al Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh dan mantap, antara sebagian dengan yang lain. Dalam Ithaafu al Adzkiyaa’ hlm 20 , Syaikh Al-Hafidh AlGhimari menyatakan, “Rouh ini kadar kedloifannya tipis versi mereka yang menilainya lemah, sebagaimana dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits.
Karena itu Al-Hafidh Al-Haitsami menggambarkan kedloifan Rouh dengan bahasa yang mengesankan kadar kedloifan yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan, malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai hadits shahih. Bisa dicatat di sini bahwa para Nabi yang Nabi SAW bertawassul dengan kemuliaan mereka di sisi Allah dalam hadits ini dan hadits lain telah wafat. Maka dapat ditegaskan diperbolehkannya tawassul kepada Allah dengan kemuliaan (bil-haq) dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan (ahlul-haq) baik masih hidup maupun sesudah wafat.
_______________________________________________________________
MAFAHIM YAJIBU ANTUSOHHA ( Paham-paham Yang Haris Diluruskan )
Karya Imam Ahlussunnah Wal Jamaah Abad 21
Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani
Post a Comment