ASY’ARIYAH adalah madzhab dalam bidang akidah
(teologi). Sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang memiliki imam,
asy’ariyah memiliki imam yang bernama al-Imam Abu al Hasan al-Asy’ari
(873 – 947 M).
Beliau seorang ahli kalam, alim, zahid Ahlus Sunnah wal Jam’ah yang
berasal dari suku Asy’ari – suku yg berasal dari sebuah daerah di negeri
Yaman. Ia pernah diasuh oleh tokoh Mu’tazilah, Ali al Jubbai, namun
beliau akhirnya balik mengkritik kekeliruan-kekeliruan tokoh mi’tazilah.
Dan menjadi rujukan ulama dalam menghadapi mu’tazilah.
Imam Asy’ari dikenal mengkritik mu’tazilah dengan logika-logika
mu’tazilah. Dengan pertolongan Allah beliau berhasil mematahkan hujjah
mu’tazilah dengan rasional tanpa keluar dari syariat.
Metode Imam Asy’ari lalu diikuti banyak ulama besar di kemudian hari. Hingga beliau diberi gelar “mujaddid” (pembaharu) karena dinilai berhasil mengalahkan dominasi pemikiran mu’tazilah.
Berbagai ulama dari disiplin ilmu mengikuti madzhabnya. Di antaranya;
imam al Qusyairi, al Juwaini, al Ghazali, Syahrastani, al Razi, al Amidi, al Subki, al Baihaqi, Khatib al Baghdadi, ibnu Asakir, imam Nawawi, imam Ibnu Katsir, al Iraqi, Ibn Hajar al Asqalani dll hingga mujahid agung, panglima besar kaum Muslimimin sultan Shalahuddin al Ayyubi.
Begitu pula para ulama pengikut madzhab Maliki dalam bidang teologi
mengikuti imam Asy’ari. pengikut imam Syafii juga dalam bidang teologi
mengikuti madzhab Asy’ari. Beberapa tokoh generasi awal madzhab Hambali
seperti imam Ibnu Sam’un, al Kalwadzani dan al Hafidz Ibn Jauzi juga
pengikut madzhab Asyari.
Banyaknya ulama yang mengikuti imam Asyari dalam metodologi akidah
adalah karena beliau berhasil mematahkan mu’tazilah dengan tetap
menyeimbangkan antara naql (teks agama) dengan aql (akal) secara adil. Kaidah tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah yaitu “taqdiimul naql alan naql” (mendahulukan teks atas akal).
Sehingga beliau berjasa atas perjuangan para ulama sebelumnya yang
menghadapi mu’tazilah. Hingga akhirnya para tokoh awal madzhab Hanbali
mengikutinya karena dianggap berjasa meneruskan perjuangan imam Ahmad
bin Hanbal dalam memerangi mutazilah. Meski metodenya berbeda.
Peradaban Islam oleh para ulama dibangun atas madzhab ini. Para
saintis, filsuf dan pemikir menggunakan metode Asy’ari untuk memataahkan
argumen-argumen asing yang mempengaruhi pemikiran umat.
Dasar-dasar madzhab Asy’ari mengikuti ijma ulama yaitu al Qur’an, Hadis, ijma dan akal.
Madzhab Asy’ari juga bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah. Mereka teguh memegangi al-ma’sur. ”Ittiba” lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi,
kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di
terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka berhati-hati tidak menolak
penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian
sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di
takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum Asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian
rasional.
Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka
tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks agama). Akal dan naql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
– Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,
seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan
cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
– Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
– Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan dan lain-lain.*
– Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
– Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan dan lain-lain.*
Penulis adalah anggota MIUMI Jatim dan Peneliti di InPas Surabaya
Oleh: Kholili Hasib
_______________________
Sumber: https://bit.ly/34i12wq
Post a Comment