SEJUMLAH pihak melakukan kritikan terhadap hujjah
Madzhab Asy Syafi’i mengenai qunut shubuh. Salah satunya adalah hadits
yang dijadikan sandaran dalam amalan qunut shubuh yang diriwayatkan oleh
Anas Bin Malik. Berikut ini pemaparan para Huffadz Hadits yang menganut
pendapat bahwa qunut shubuh disyari’atkan.
عَن أنس أَن النَّبِي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم –
قنت شهرا يَدْعُو عَلَى قاتلي أَصْحَابه ببئر مَعُونَة (ثمَّ) ترك ،
فَأَما فِي الصُّبْح فَلم يزل يقنت حَتَّى فَارق الدُّنْيَا.
Dari Anas Radhiyallahu Anhu ia berkata, “Sesungguhnya Nabi
shallallahu alaihi wasalam melakukan qunut selama satu bulan, berdoa
(untuk keburukan) kepada para pembunuh para sahabat beliau di Bi’r
Ma’unah, lalu beliau meninggalkannya, akan tetapi qunut waktu shubuh,
maka beliau masih melakukan hingga wafat”
Hadits ini berada dalam Syarh Al Kabir (1/151). Hadits diriwayatkan
Ad Daraquthni (2/39). Ahmad dalam Musnad (3/162), Hafidz Abu Bakar
Khatib, dalam At Tahqiq Ibnu Al Jauzi (1/463), Al Baihaqi dalam Sunan Al
Kubra (2/201).
Para Huffadz yang menshahihkan
Al Hafidz Ibnu Shalah:”Hadits ini telah dihukumi shahih oleh lebih
dari seorang huffadz hadits, diantaranya: Abu Abdullah bin Ali Al
Balkhi, dari para imam hadits, Abu Abdullah Al Hakim, dan Abu Bakar Al
Baihaqi. (Lihat, Badr Al Munir, 3/624).
Al Hafidz Imam Nawawi mengatakan:”Hadits ini diriwayatkan oleh
jama’ah huffadz dan mereka menshahihkannya”. Lalu menyebutkan para ulama
yang disebutkan Ibnu Shalah, dan mengatakan,”Dan diriwayatkan
Daraquthni melalui beberapa jalan dengan sanad shahih”. (Al Khulashah,
1/450-451).
Al Qurthubi dalam Al Mufhim :”Yang kuat diperintahkan oleh Rasulullah
shalallhualaihi wasalam dalam qunut, diriwayatkan Daraquthni dengan
isnad shahih” (Badr Al Munir, 3/624).
Hafidz Al Hazimi dalam An Nashih wa Al Mansukh:”Hadits ini shahih, dan Abu Ja`far tsiqah”. (Al I’tibar, 255)
Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani : Setelah menyebutkan penilaian para
ulama terhadap Abu Jakfar, beliau mengatakan, “haditsnya memiliki syahid
(penguat)” lalu menyebutkan hadits qunut shubuh yang diriwayatkan dari
Al Hasan bin Sufyan. (Talhis Khabir, 1/443)
Pernyataan Al Hafidz Ibnu Hajar bahwa “haditsnya memiliki syahid”
menunjukkan bahwa haditsnya hasan. Sehingga penulis Ithaf fi Takhrij
Ahadits Al Ishraf menyatakan,”Ibnu Hajar menghasankan dalam Talhisnya”.
Di halaman yang sama Ibnu Hajar mengatakan,”Hadist riwayat Al
Baihaqi…dan dishahihkan Hakim dalam Kitab Al Qunut”. (Talhis Khabir,
1/443).
Hafidz Al Iraqi :”Telah menshahihkan hadits ini Al Hafidz Abu Abdullah
Muhammad bin Ali Al Bajili, Abu Abdullah Al Hakim dan Ad Daraquthni”
(Tharh Tatsrib,3/289).
Perawi yang Disoroti dalam Hadits ini adalah Abu Ja`far Ar Razi
Pendapat Imam Ahmad
Bicara mengenai Abu Jakfar Ar Razi. Pendapat Imam Ahmad tentang Abu
Jakfar, ada dua riwayat. Pertama. Diriwayatkan Hanbal dari Ahmad bin
Hanbal,”Shalih hadits” (haditsnya layak). Kedua, dari Abdullah,
anaknya,”Laisa bi qawi (tidak kuat). Al Hazimi dalam Nashih wa Manshuh
mengatakan, “Riwayat pertama lebih utama (Al I’tibar, 256).
Pendapat Yahya bin Ma`in
Adapun penilaian Yahya bin Ma’in, ada beberapa riwayat:1, dari Isa
bin Manshur, “Tsiqah”. 2, dari Ibnu Abi Maryam , “hadistnya ditulis,
tapi ia sering salah”. 3, diriwayatkan Ibnu Abi Khaitsamah,”shalih”. 4,
diriwayatkan oleh Mughirah,”tsiqah” dan ia salah ketika meriwayatkan
dari Mughirah. Daruquthni mengatakan,”Dan hadits ini tidak diriwayatkan
dari Mughirah”. 5, diriwayatkan As Saji “Shoduq wa laisa bimutqin (
hafalanya tidak valid)”
Periwayatan dari Yahya bin Ma’in lebih banyak ta’dilnya daripada tajrih.
Pendapat Ali bin Al Madini
Ali bin Al Madini: Ada dua riwayat darinya tentang Abu Jakfar. Salah
satu riwayat mengatakan,”Ia seperti Musa bin Ubaidah, haditsnya
bercampur, ketika meriwayatkan dari Mughirah dan yang semisalnya. Dalam
riwayat yang berasal dari anak Ibnu Al Madini, Muhammad bin Utsman bin
Ibnu Syaibah,”Bagi kami ia tsiqah”. Ibnu Al Mulaqqin mengatakan,”lebih
utama riwayat dari anaknya (anak Ibnu Al Madini).
Pendapat Para Huffadz
Muhammad Bin Abdullah Al Mushili mengatakan,”Tsiqah”. Bin Ali Al
Falash mengatakan,”Shoduq, dan dia termasuk orang-orang yang jujur, tapi
hafalannya kurang baik”. Abu Zur’ah mengatakan,”Syeikh yahummu katisran
(banyak wahm). Abu Hatim mengatakan,”Tsiqah, shoduq, sholih hadits”.
Abnu Harash,”Hafalannya tidak bagus, shoduq (jujur)”. Ibnu ‘Adi,”Dia
mimiliki hadits-hadits layak, dan orang-orang meriwayatkan darinya.
Kebanyakan haditsanya mustaqim (lurus), dan aku mengharap ia la ba’sa
bih (tidak masalah).
Muhammad bin Sa’ad:”Dia tsiqah”, ketika di Baghdad para ulama mendengar darinya”. Hakim dalam Al Mustadrak,”Bukhari dan Muslim menghindarinya, dan posisinya di hadapan seluruh imam, adalah sebaik-baik keadaan”, di tempat lain ia mengatakan:”tsiqah”. Ibnu Abdi Al Barr dalam Al Istighna,”Ia (Abu Ja`far) bagi mereka (para ulama) tsiqah, alim dalam masalah tafsir Al Qur’an.. Ibnu Sahin menyebutnya dalam “Tsiqat”. Al Hazimi dalam Nasikh dan Mansukh,”Ini hadist Shahih, dan Abu Jakfar tsiqah”. Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al Ied dalam Al Ilmam, setelah menyebutkan hadits, ia mengatakan,”Dalam isnadnya Abu Jakfar Ar Razi. Dan ia ditsiqahkan, lebih dari satu ulama. Nasai mengatakan,”Laisa bil Qawi” (ia tidak kuat hafalannya).
Muhammad bin Sa’ad:”Dia tsiqah”, ketika di Baghdad para ulama mendengar darinya”. Hakim dalam Al Mustadrak,”Bukhari dan Muslim menghindarinya, dan posisinya di hadapan seluruh imam, adalah sebaik-baik keadaan”, di tempat lain ia mengatakan:”tsiqah”. Ibnu Abdi Al Barr dalam Al Istighna,”Ia (Abu Ja`far) bagi mereka (para ulama) tsiqah, alim dalam masalah tafsir Al Qur’an.. Ibnu Sahin menyebutnya dalam “Tsiqat”. Al Hazimi dalam Nasikh dan Mansukh,”Ini hadist Shahih, dan Abu Jakfar tsiqah”. Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al Ied dalam Al Ilmam, setelah menyebutkan hadits, ia mengatakan,”Dalam isnadnya Abu Jakfar Ar Razi. Dan ia ditsiqahkan, lebih dari satu ulama. Nasai mengatakan,”Laisa bil Qawi” (ia tidak kuat hafalannya).
Demikianlah paparan Al Hafidz Ibnu Al Mulaqqin mengenai perkataan
ulama jarh wa ta’dil mengenai Abu Ja’far Ar Razi. (lihat, Badr Al Munir,
3/623)
Kritik untuk Ibnu Al Jauzi
Al Hafidz Ibnu Mulaqqin mengatakan, “Adapun Ibnu Al Jauzi menilai bahwa hadits ini mengandung `ilal dalam Al Ilal Al Mutanahiyah dan At Tahqiq mengenai Abu Ja’far ini untuk membela madzhabnya hanya menukil riwayat yang menjarh saja dan ini adalah bukanlah perbuatan yang baik. Ia hanya mencukupkan kepada riwayat siapa yang meriwayatkan dari pendhaifan dari Ahmad, Ibnu Al Madini Dan Yahya bin Ma’in. Dan ini bukanlah perbuatan orang yang obyektif”. (Badr Al Munir, 3/624)
Al Hafidz Ibnu Mulaqqin mengatakan, “Adapun Ibnu Al Jauzi menilai bahwa hadits ini mengandung `ilal dalam Al Ilal Al Mutanahiyah dan At Tahqiq mengenai Abu Ja’far ini untuk membela madzhabnya hanya menukil riwayat yang menjarh saja dan ini adalah bukanlah perbuatan yang baik. Ia hanya mencukupkan kepada riwayat siapa yang meriwayatkan dari pendhaifan dari Ahmad, Ibnu Al Madini Dan Yahya bin Ma’in. Dan ini bukanlah perbuatan orang yang obyektif”. (Badr Al Munir, 3/624)
Walhasil, meski status hadits qunut diperselisihkan keshahihannya dan
pihak yang mendhaifkan hadits qunut memiliki argumen, namun pihak Asy
Syafi’iyah juga memiliki argumen yang menunjukkan bahwa hadits qunut
bukan hadits dhaif. Tentu dalam hal ini yang dibutuhkan umat adalah
kedewasaan untuk saling menghargai satu sama lain tanpa memaksakan
kehendak, dengan demikian ukhuwwah Islamiyah akan senantiasa terjaga.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam….
_________________________
Sumber: https://bit.ly/2Pz1IYQ
_________________________
Sumber: https://bit.ly/2Pz1IYQ
Post a Comment