Kapabilitas Imam Al-Ghazālī Dalam Ilmu Hadis; Kajian Hadis terhadap Kitab Iḥyā Ulūm al-Dīn Oleh: Dr. Arrazy Hasyim, MA #Kajian-Ihya bagian 7

#KajianIhya bagian ke-7
KOMENTAR DAN KRITIKAN PARA ULAMA TERHADAP IHYA'
Komentar dan kiritikan yang dimaksud di sini adalah yang berkaitan dengan keilmuan al-Ghazālī dalam ilmu Hadis, terutama pada penulisan Iḥyā. Komentar dan kritikan tersebut tentu setelah mereka melakukan kajian terhadap kitab ini. Terlepas kajian yang mereka lakukan tersebut adalah teliti atau serampangan.
Kritikan yang sangat berlebihan pertama kali dilontarkan oleh Abū al-Walīd al-Thurthūsī (451-520 H.) seorang faqīh yang semasa dengan al-Ghazālī. Ia mengatakan, "Abu Hamid (al-Ghazālī) memenuhi Iḥyā dengan pendustaan terhadap Nabi Saw. Aku tidak tahu kitab lain di permukaan bumi yang lebih banyak kedustaannya melebihi kitab Iḥyā."

Setelah al-Thurthūsī, kritikan yang lumayan keras juga dilontarkan oleh al-Hāfizh Abū al-Farj Ibn al-Jawzī (bukan Ibn al-Qayyim al-Jawzīyah). Ibn al-Jawzī menyebutkan bahwa al-Ghazālī menukil di dalam Iḥyā sebagian Hadis-hadis mawdhū dan yang tidak sahih dalam jumlah yang tidak sedikit. Demikian itu, lanjut Ibn al-Jawzī, disebabkan karena pengetahuannya yang sedikit dalam ilmu naql (periwayatan), sehingga al-Ghazālī menukil Hadis bagaikan "pencari kayu" di malam hari (ḥathib al-layl). Ia mengatakan al-Ghazālī bagaikan "pencari kayu" pada malam hari, karena mengambil Hadis tanpa membedakan antara yang shaḥīh, ḥasan dan dhaīf. Akan tetapi, “ejekan” Ibn al-Jawzī berbalik kepada dirinya. Ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang dipenuhi hadis-hadis bermasalah, israiliyyāt (kisah-kisah bani Israil) bahkan riwayat-riwayat palsu, seperti kitab al-Tabṣirah, Laṭāif al-Maārif, Bustān al-Wāiẓīn, dan lainnya.
Adapun kritikan pada zaman berikutnya seperti yang dilontarkan Ibn Taymiyah, Ibn al-Qayyim, dan Ibn Katsir yang hanya mengembangkan bahkan cuma menukil kritikan dari al-Hāfizh Ibn al-Jawzī. Ini dikarenakan mereka sering merujuk pendapat Ibn al-Jawzī. Selain itu, justeru Ibn Taymiyah lebih banyak mengkritisi dari aspek lain. Ia hanya memberikan kritikan setelah memuji kitab Iḥyā, bahwa di dalamnya terdapat Hadis-hadis dhaīf bahkan mawdhū yang lumayan banyak.
Selain itu, juga terdapat kritikus kontemporer seperti Abd Allāh al-Hararī al-Habasyī. Al-Hararī menyebutkan bahwa para ulama menganggap Hadis-hadis yang terdapat dalam Iḥyā tidaklah bisa dijadikan pegangan. Ini dikarenakan terdapat di dalamnya sekitar tiga ratus Hadis yang mawdhū.
Namun demikian, komentar yang berbeda juga dikemukakan oleh ilmuwan lain seperti Imam al-Ḥāfizh Murthadá al-Zabīdī. Sebagai pensyarah dan pentakhrij, ia sendiri mengakui bahwa Hadis-hadis yang terdapat di dalam Iḥyā ada yang mursal, maqthū, dan sebagian lain masih bisa diperdebatkan kedhaifan sanadnya (fi sanadihi maqāl). Murthadá menambahkan, bisa jadi masih terdapat riwayat mursal dan maqthu yang lebih shahih periwayatannya pada Musnad yang lain jika para imam meriwayatkannya dengan jalur lain.
Bahkan, Murthadá dalam pembelaanya menukil beberapa pernyataan, pertama "Kami tidak sepenuhnya yakin bahwa riwayat-riwayat tersebut batil." Kedua, "Seandainya mereka (para periwayat Hadis —pen.) keliru dalam meriwayatkan, maka kebenaran hakiki itu hanya milik Allah." Ketiga, Hadis-hadis dhaif yang tidak menyalahi Kitabullah dan Sunnah, maka tidaklah mesti kita menolaknya secara sembarangan, karena Kitabullah dan Sunnah juga mendukungnya." Keempat, "Kita dinilai beribadah jika berbaik sangka, dan sebaliknya dilarang terhadap kebanyakan prasangka."
Ungkapan Murtadhá tersebut tentu dikemukakannya setelah meneliti dan mempertimbangkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Iḥyā secara mendalam. Komentar ini terlihat lebih moderat dan penuh toleran daripada sebelumnya. Tampaknya, para pengritik perlu belajar sikap tersebut dari Murtadhá.

 ______________________________________________
Sumber : https://www.facebook.com/RibathNouraniyah/

>>>bersambung ke bagian 8<<<

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post