#KajianIhya bagian ke-8
APAKAH AL-GHAZALI BISA DISEBUT SEBAGAI SEORANG MUHADDITS (AHLI HADITS)?
Apabila yang dimaksud dengan muḥaddits adalah orang yang berkata haddatsana fulan an fulan an Rasulillah sebagaimana dicontohkan oleh Alī al-Jurjānī, maka al-Ghazālī dengan kitab Iḥyā tidak pantas dikatakan sebagai muḥaddits. Tetapi, defenisi ini kelihatan tidak tepat untuk diterapkan pada zaman sekarang.
Adapun komentar sebagian ilmuwan bahwa al-Ghazālī tidak dipandang sebagai muḥaddits, paling kurang karena dua alasan. Pertama, karena ia banyak menukilkan Hadis dhaīf dalam kitab Iḥyā. Kedua, al-Ghazālī dianggap tidak mengetahui atau mendalami ilmu Hadis. Pernyataan yang kedua ini didasarkan kepada perkataan al-Ghazālī sendiri bahwa pengetahuannya dalam Ilmu Hadis sedikit.
Namun demikian, menurut penulis kedua alasan tersebut kurang relevan dituduhkan kepada al-Ghazālī. Alasan pertama, tokoh-tokoh besar seperti al-Syafii masih menyebut orang-orang yang sering keliru dalam menukil Hadis sebagai muḥaddits, sebagaimana dinukilkan oleh al-Khathib al-Baghdadi berikut ini.
قال الشافعي: ومن كثر غلطه من المحدثين ولم يكن له أصل كتاب صحيح لم يقبل حديثه.
"Imam al-Syafii berkata: Siapa yang banyak kekeliruannya dari kalangan muḥaddits dan ia juga tidak mempunyai sumber kitab yang shaḥīḥ, maka tidak diterima Hadisnya."
Imam al-Bayhaqī juga pernah mengatakan bahwa latar belakangnya mendalami Hadis adalah karena ia melihat para muḥaddits dari asḥābinā (mazhab Syafii pada masanya) meriwayatkan Hadis dengan tidak membedakan antara yang shaḥīḥ dan dhaīf. Berdasarkan hal tersebut, sikap seorang pengajar atau penyampai hadis tidak [mampu] membedakan yang valid dan bermasalah, tidak menyebabkan dirinya kehilangan status muḥaddits.
Selain itu, Ibn al-Jawzī yang mengritik pedas al-Ghazālī pun terlihat sedikit menelan ludahnya. Ini dikarenakan ia pun banyak menukil hadis lemah dan bermasalah dalam kitab sejenis Iḥyā, yaitu kitab al-Tabṣirah. Ia hanya menukil hadis dan menyebutkan mukharrij pada beberapa bagian, tetapi ia tidak menjelaskan keshaḥīḥan atau kedhaīfannya sama sekali.
Alasan kedua, al-Ghazālī adalah seorang yang pakar dalam kaidah-kaidah ilmu Hadis. Ini terbukti dengan kajiannya mengenai kaidah-kaidah ilmu Hadis pada kitab al-Mankhūl. Bahkan, al-Ghazālī sangat jeli dan kritis terhadap kaidah-kaidah keliru yang diterapkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Sebagai contoh, setelah al-Ghazālī mengklasifikasikan Hadis kepada mutawātir dan āḥād, lalu ia menjelaskan perbedaan Hadis mustafidh (populer) dengan mutawatir. Ia membantah pendapat Abu Ishaq bahwa Hadis mustafidh sama kedudukannya dengan mutawatir dalam menghasilkan ilmu dharuri. Menurutnya, Hadis mustafidh jika belum sampai kepada taraf mutawatir, maka masih ada kemungkinan kekeliruan pada periwayatannya. Ini dikarenakan keadilan periwayatnya tidak mustahil dari kedustaan.
Adapun alasan para pengkritik bahwa al-Ghazālī pernah mengakui kelemahannya dalam ilmu Hadis. Pengakuan tersebut memang dapat ditemui dari pernyataan al-Ghazālī sendiri.
وبضاعتي في علم الحديث مزجاة.
"Pengetahuanku dalam Ilmu Hadis sedikit."
Pernyataan ini mengandung dua makna, pertama sebagai bentuk ketawādhuan dari seorang Ḥujjat al-Islām. Ini sama halnya dengan pernyataan Imam Abd Allāh bin al-Mubārak ketika mengatakan, "Aku menyintai orang-orang saleh, namun aku bukan dari golongan mereka. Aku pernah memarahi orang saleh, padalah aku lebih buruk dari mereka." Ini dikarenakan tidak ada para ulama jarḥ dan tadil yang menyebutkan cacat Abd Allāh bin al-Mubārak.
Makna kedua, ungkapan itu dipahami sesuai dengan zahir kalimat. Artinya, al-Ghazālī memang tidak mendalami ilmu Hadis. Namun, hal ini dapat ditepis dari dua hal, pertama tradisi pembelajaran hadis yang pernah ia ikuti —sebagaimana dijelaskan sebelumnya-, dan kedua dengan memperhatikan beberapa karyanya, terutama kitab al-Mankhūl. Dua hal ini mengindikasikan dengan kuat bahwa al-Ghazālī mendalami ilmu Hadis, meskipun tidak seperti Ibn al-Shalāḥ.
Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa al-Ghazālī masih tergolong ahli Hadis. Tentu saja, ia bukan ahli hadis sekaliber Ibn al-Jawzī, Ibn al-Shalāḥ, dan al-Irāqī. Adapun kritikan yang dilontarkan sebagian kalangan ulama kepadanya tidaklah menjadi masalah berarti untuk menilainya sebagai seorang ahli Hadis. Ini dikarenakan kritikan di dalam ranah intelektual merupakan sesuatu yang lumrah dan sah-sah saja.
______________________________________________
Sumber : https://www.facebook.com/RibathNouraniyah/
>>>bersambung ke bagian 9<<<
APAKAH AL-GHAZALI BISA DISEBUT SEBAGAI SEORANG MUHADDITS (AHLI HADITS)?
Apabila yang dimaksud dengan muḥaddits adalah orang yang berkata haddatsana fulan an fulan an Rasulillah sebagaimana dicontohkan oleh Alī al-Jurjānī, maka al-Ghazālī dengan kitab Iḥyā tidak pantas dikatakan sebagai muḥaddits. Tetapi, defenisi ini kelihatan tidak tepat untuk diterapkan pada zaman sekarang.
Adapun komentar sebagian ilmuwan bahwa al-Ghazālī tidak dipandang sebagai muḥaddits, paling kurang karena dua alasan. Pertama, karena ia banyak menukilkan Hadis dhaīf dalam kitab Iḥyā. Kedua, al-Ghazālī dianggap tidak mengetahui atau mendalami ilmu Hadis. Pernyataan yang kedua ini didasarkan kepada perkataan al-Ghazālī sendiri bahwa pengetahuannya dalam Ilmu Hadis sedikit.
Namun demikian, menurut penulis kedua alasan tersebut kurang relevan dituduhkan kepada al-Ghazālī. Alasan pertama, tokoh-tokoh besar seperti al-Syafii masih menyebut orang-orang yang sering keliru dalam menukil Hadis sebagai muḥaddits, sebagaimana dinukilkan oleh al-Khathib al-Baghdadi berikut ini.
قال الشافعي: ومن كثر غلطه من المحدثين ولم يكن له أصل كتاب صحيح لم يقبل حديثه.
"Imam al-Syafii berkata: Siapa yang banyak kekeliruannya dari kalangan muḥaddits dan ia juga tidak mempunyai sumber kitab yang shaḥīḥ, maka tidak diterima Hadisnya."
Imam al-Bayhaqī juga pernah mengatakan bahwa latar belakangnya mendalami Hadis adalah karena ia melihat para muḥaddits dari asḥābinā (mazhab Syafii pada masanya) meriwayatkan Hadis dengan tidak membedakan antara yang shaḥīḥ dan dhaīf. Berdasarkan hal tersebut, sikap seorang pengajar atau penyampai hadis tidak [mampu] membedakan yang valid dan bermasalah, tidak menyebabkan dirinya kehilangan status muḥaddits.
Selain itu, Ibn al-Jawzī yang mengritik pedas al-Ghazālī pun terlihat sedikit menelan ludahnya. Ini dikarenakan ia pun banyak menukil hadis lemah dan bermasalah dalam kitab sejenis Iḥyā, yaitu kitab al-Tabṣirah. Ia hanya menukil hadis dan menyebutkan mukharrij pada beberapa bagian, tetapi ia tidak menjelaskan keshaḥīḥan atau kedhaīfannya sama sekali.
Alasan kedua, al-Ghazālī adalah seorang yang pakar dalam kaidah-kaidah ilmu Hadis. Ini terbukti dengan kajiannya mengenai kaidah-kaidah ilmu Hadis pada kitab al-Mankhūl. Bahkan, al-Ghazālī sangat jeli dan kritis terhadap kaidah-kaidah keliru yang diterapkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Sebagai contoh, setelah al-Ghazālī mengklasifikasikan Hadis kepada mutawātir dan āḥād, lalu ia menjelaskan perbedaan Hadis mustafidh (populer) dengan mutawatir. Ia membantah pendapat Abu Ishaq bahwa Hadis mustafidh sama kedudukannya dengan mutawatir dalam menghasilkan ilmu dharuri. Menurutnya, Hadis mustafidh jika belum sampai kepada taraf mutawatir, maka masih ada kemungkinan kekeliruan pada periwayatannya. Ini dikarenakan keadilan periwayatnya tidak mustahil dari kedustaan.
Adapun alasan para pengkritik bahwa al-Ghazālī pernah mengakui kelemahannya dalam ilmu Hadis. Pengakuan tersebut memang dapat ditemui dari pernyataan al-Ghazālī sendiri.
وبضاعتي في علم الحديث مزجاة.
"Pengetahuanku dalam Ilmu Hadis sedikit."
Pernyataan ini mengandung dua makna, pertama sebagai bentuk ketawādhuan dari seorang Ḥujjat al-Islām. Ini sama halnya dengan pernyataan Imam Abd Allāh bin al-Mubārak ketika mengatakan, "Aku menyintai orang-orang saleh, namun aku bukan dari golongan mereka. Aku pernah memarahi orang saleh, padalah aku lebih buruk dari mereka." Ini dikarenakan tidak ada para ulama jarḥ dan tadil yang menyebutkan cacat Abd Allāh bin al-Mubārak.
Makna kedua, ungkapan itu dipahami sesuai dengan zahir kalimat. Artinya, al-Ghazālī memang tidak mendalami ilmu Hadis. Namun, hal ini dapat ditepis dari dua hal, pertama tradisi pembelajaran hadis yang pernah ia ikuti —sebagaimana dijelaskan sebelumnya-, dan kedua dengan memperhatikan beberapa karyanya, terutama kitab al-Mankhūl. Dua hal ini mengindikasikan dengan kuat bahwa al-Ghazālī mendalami ilmu Hadis, meskipun tidak seperti Ibn al-Shalāḥ.
Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa al-Ghazālī masih tergolong ahli Hadis. Tentu saja, ia bukan ahli hadis sekaliber Ibn al-Jawzī, Ibn al-Shalāḥ, dan al-Irāqī. Adapun kritikan yang dilontarkan sebagian kalangan ulama kepadanya tidaklah menjadi masalah berarti untuk menilainya sebagai seorang ahli Hadis. Ini dikarenakan kritikan di dalam ranah intelektual merupakan sesuatu yang lumrah dan sah-sah saja.
______________________________________________
Sumber : https://www.facebook.com/RibathNouraniyah/
>>>bersambung ke bagian 9<<<
Post a Comment