#Kajian Ihya Bagian ke-2:
Sebelum mengkaji lebih dalam tentang kitab nya, alangkah baiknya kita mengenal lebih dulu pengarangnya..yakni Imam al-Ghazali.
Biografi Imam Al-Ghazālī
Nama lengkap dari Imam al-Ghazālī adalah Muḥammad bin Muḥammad bin Muḥammad Abū Ḥāmid al-Ghazālī. Ia dilahirkan pada tahun 450 H. di Kota Thus, salah satu kota di Persia.
Dalam hal ini, Imam Ibn Katsīr memujinya dengan mengatakan bahwa al-Ghazālī merupakan orang yang sangat jenius dalam semua ilmu yang ia bicarakan. Bahkan, ia telah menjadi pemimpin agama di masa mudanya, sehingga ia telah mengajar di Universitas Nizhāmiyah —salah satu Universitas tertua di Baghdad- pada tahun 584 ketika berumur 34 tahun. Selain itu, kuliah-kuliah yang disampaikannya telah diikuti oleh banyak ulama dari mazhab lain pada zamannya, seperti Abū al-Khaththāb dan Ibn Aqīl dari mazhab Ḥanbali. Mereka, lanjut Ibn Katsir, merasa takjub dengan kefasihan dan kedalaman ilmu al-Ghazālī. Lebih dari itu, mereka menulis perkataan-perkataan al-Ghazālī dengan penuh keyakinan akan faedahnya, lalu menukilnya dalam karangan mereka.
Imam al-Ghazālī juga termasuk pakar Ilmu Ushul al-Fiqh, terbukti dengan kitabnya al-Mustashfá. Selain itu, ia juga dikenal seorang filosof dan teolog dengan ketajaman kritik yang dilancarkannya dalam Tahāfut al-Falāsifah, Maqāshid al-Falāsifah, Iljām al-Awwām dan kitab lainnya. Kepiawaiannya tersebut menyebabkannya digelari Hujjat al-Islām. Tidak kalah masyhurnya, ia adalah seorang sufi produktif dengan kitab Iḥyā yang dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan.
Adapun kompetensi al-Ghazālī dalam Ilmu Hadis memang masih diperdebatkan, walaupun ia pernah menulis kitab al-Mankhūl fī Talīqāt al-Ushūl yang terdapat di dalamnya pembahasan khusus mengenai Ilmu Hadis. Selain itu, ia juga pernah mengatakan bahwa pengetahuannya dalam Hadis sedikit (muzjah). Terlepas apakah pernyataan ini sebagai ungkapan kerendahan hati atau memang kenyataannya. Setelah menjelajahi berbagai tempat, Imam al-Ghazālī kembali ke kota kelahirannya, yaitu Thus. Di sana ia membuat zawiyah dan kembali menghafal Shaḥīḥ al-Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim.
Hujjat al-Islam ini wafat di kota Thus pada hari Senin pada tanggal 14 Jumadi al-Akhir 505 H. Sesaat sebelum meninggal dunia, para muridnya berkumpul meminta nasehat terakhir, maka ia menjawab, "Berbuat ikhlaslah." Perkataan ini senantiasa ia ulangi sampai wafat.
Guru-guru dan murid Imam al-Ghazālī
Sebagaimana ulama lain pada zamannya, Abū Ḥāmid al-Ghazālī termasuk orang yang banyak belajar kepada para ulama di zamannya. Adapun yang akan disebutkan di sini hanya sebagian kecil saja, terutama masyaikh yang memang terkenal dan berpengaruh banyak dalam keilmuwannya.
Pertama kali, al-Ghazālī belajar di kota kelahirannya Thus kepada Ali al-Radzkarī. Setelah itu, ia berpindah ke Naisapur kota kelahiran Imam Muslim. Kemudian ia berlajar di kota Jurjan kepada Abū Nashr al-Ismāīlī, lalu kembali ke Thus.
Setelah itu, ia kembali ke Naisapur untuk belajar kepada Abū al-Maālī al-Juwaynī seorang ahli ushūi dan Mutakallim yang tersohor dengan gelar Imam al-Haramayn. Al-Ghazālī pernah mulai menulis kitab pada masa hidup al-Juwaynī, sehingga al-Juwaynī marah dengan mengatakan, "Engkau telah 'menguburkan'ku, sedangkan aku masih hidup." Tetapi di lain hal, Al-Juwaynī memuji al-Ghazālī dengan mengatakan bahwa al-Ghazālī sebagai baḥr mughriq (lautan dalam yang menenggelamkan).
Adapun pertualangannya dalam ilmu Hadis, al-Ghazālī pernah belajar kitab al-Shahihayn kepada al-Hāfizh Abu al-Fatyan (503 H.), saat al-Hafizh mengunjungi kota Thus. Abu al-Fatyan dikenal sebagai muḥaddits yang banyak mengenal jalur periwayatan berbagai kitab Hadis. Selain itu, berdasarkan keterangan al-Subkī bahwa al-Ghazālī juga mempelajari al-Jāmi al-Shaḥīḥ karangan al-Bukhārī kepada Abū Sahl Muḥammad bin Abd Allāh al-Hafshī, serta Sunan Abū Dāwud kepada Ḥākim Abū al-Fatḥ al-Ḥakimī. Oleh karena itu, ia mempunyai sanad dalam Hadis dengan sanad yang luhur (ali) martabatnya daripada para muḥaddits sekarang, karena ia mengikuti samā secara langsung dari gurunya yang muttashil sampai ke Nabi Saw atau para penulis kitab Hadis. Keterangan ini merupakan bukti-bukti yang bisa memperbaiki beberapa asumsi keliru dari sebagai kalangan yang menganggap al-Ghazālī tidak mengikuti tradisi para ahli Hadis.
Selain itu, al-Ḥāfizh Murthadhá al-Zabīdī —komentetor terbaik kitab Iḥyā- menambahkan bahwa guru-guru al-Ghazālī yang lain dalam Hadis adalah Abū Muḥammad Abd Allāh bin Muḥammad al-Khawārī, Muḥammad bin Yaḥyá al-Sajjāī al-Zawzānī, dan Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi. Namun demikian, Ibn Najjār dalam al-Tarīkhnya dengan serta merta menuduh al-Ghazālī tidak memiliki sanad Hadis. Tetapi, Murthadhá al-Zabīdī membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan, "Tidak diragukan lagi bahwa al-Ghazālī telah mempelajari Hadis (dengan metode samā) pada masa mudanya, kemudian kembali menyibukkan dirinya untuk sama Hadis pada akhir hayatnya”.
Di dalam ilmu Tasawuf, al-Ghazālī belajar kepada Abū Alī al-Farmādī - salah seorang syeikh yang terdapat dalam silsilah tarekat Naqsyabandiyyah pra Bahā al-Dīn al-Naqsyabandī-. Ini sesuai dengan pengakuannya sendiri dengan mengatakan, "Aku mempelajari metode tasawuf (thariqah) kepada Abū Alī al-Farmādī. Adapun dalam ranah filsafat, al-Ghazālī tidak mempelajarinya melalui seorang guru pun. Tetapi ia mempelajarinya dengan otodidak selama kurang dari dua tahun. Kemudian, ia melakukan murājaah dan tafakkur selama setahun setelah dua tahun mempelajari filsafat. Hal ini tentu saja tidak mustahil bagi seorang al-Ghazālī yang sudah matang dalam ilmu kalam dan manthiq.
Adapun di antara murid-muridnya yang termasyhur, di antaranya adalah al-Qādhī Abū Bakar Ibn al-Arabī al-Mālikī seorang muḥaddits dan pakar Ilmu Ushul pada zamannya. Ia banyak mensyarah kitab Hadis seperti kitabnya Āridhat al-Aḥwadzī syarah Sunan al-Tirmidzī. Selain itu, terdapat seorang sejarawan Muslim, Abū al-Ḥasan al-Sulamī al-Shūfī, pengarang kitab Thabaqat al-Shūfīyah juga pernah menjadi murid al-Ghazālī.
Muridnya yang lain, seperti al-Qādhī Abū Nashr al-Khamqarī (466 H.), Abū al-Fatḥ Aḥmad bin Alī al-Ḥanbalī al-Ushūlī (518 H.), dan masih banyak tokoh-tokoh besar lainnya yang menjadi murid al-Ghazālī, namun tidak memungkinkan untuk disebutkan pada tulisan ini.
______________________________________________
Sumber : https://www.facebook.com/RibathNouraniyah/
>>>bersambung ke bagian 3<<<
Sebelum mengkaji lebih dalam tentang kitab nya, alangkah baiknya kita mengenal lebih dulu pengarangnya..yakni Imam al-Ghazali.
Biografi Imam Al-Ghazālī
Nama lengkap dari Imam al-Ghazālī adalah Muḥammad bin Muḥammad bin Muḥammad Abū Ḥāmid al-Ghazālī. Ia dilahirkan pada tahun 450 H. di Kota Thus, salah satu kota di Persia.
Dalam hal ini, Imam Ibn Katsīr memujinya dengan mengatakan bahwa al-Ghazālī merupakan orang yang sangat jenius dalam semua ilmu yang ia bicarakan. Bahkan, ia telah menjadi pemimpin agama di masa mudanya, sehingga ia telah mengajar di Universitas Nizhāmiyah —salah satu Universitas tertua di Baghdad- pada tahun 584 ketika berumur 34 tahun. Selain itu, kuliah-kuliah yang disampaikannya telah diikuti oleh banyak ulama dari mazhab lain pada zamannya, seperti Abū al-Khaththāb dan Ibn Aqīl dari mazhab Ḥanbali. Mereka, lanjut Ibn Katsir, merasa takjub dengan kefasihan dan kedalaman ilmu al-Ghazālī. Lebih dari itu, mereka menulis perkataan-perkataan al-Ghazālī dengan penuh keyakinan akan faedahnya, lalu menukilnya dalam karangan mereka.
Imam al-Ghazālī juga termasuk pakar Ilmu Ushul al-Fiqh, terbukti dengan kitabnya al-Mustashfá. Selain itu, ia juga dikenal seorang filosof dan teolog dengan ketajaman kritik yang dilancarkannya dalam Tahāfut al-Falāsifah, Maqāshid al-Falāsifah, Iljām al-Awwām dan kitab lainnya. Kepiawaiannya tersebut menyebabkannya digelari Hujjat al-Islām. Tidak kalah masyhurnya, ia adalah seorang sufi produktif dengan kitab Iḥyā yang dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan.
Adapun kompetensi al-Ghazālī dalam Ilmu Hadis memang masih diperdebatkan, walaupun ia pernah menulis kitab al-Mankhūl fī Talīqāt al-Ushūl yang terdapat di dalamnya pembahasan khusus mengenai Ilmu Hadis. Selain itu, ia juga pernah mengatakan bahwa pengetahuannya dalam Hadis sedikit (muzjah). Terlepas apakah pernyataan ini sebagai ungkapan kerendahan hati atau memang kenyataannya. Setelah menjelajahi berbagai tempat, Imam al-Ghazālī kembali ke kota kelahirannya, yaitu Thus. Di sana ia membuat zawiyah dan kembali menghafal Shaḥīḥ al-Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim.
Hujjat al-Islam ini wafat di kota Thus pada hari Senin pada tanggal 14 Jumadi al-Akhir 505 H. Sesaat sebelum meninggal dunia, para muridnya berkumpul meminta nasehat terakhir, maka ia menjawab, "Berbuat ikhlaslah." Perkataan ini senantiasa ia ulangi sampai wafat.
Guru-guru dan murid Imam al-Ghazālī
Sebagaimana ulama lain pada zamannya, Abū Ḥāmid al-Ghazālī termasuk orang yang banyak belajar kepada para ulama di zamannya. Adapun yang akan disebutkan di sini hanya sebagian kecil saja, terutama masyaikh yang memang terkenal dan berpengaruh banyak dalam keilmuwannya.
Pertama kali, al-Ghazālī belajar di kota kelahirannya Thus kepada Ali al-Radzkarī. Setelah itu, ia berpindah ke Naisapur kota kelahiran Imam Muslim. Kemudian ia berlajar di kota Jurjan kepada Abū Nashr al-Ismāīlī, lalu kembali ke Thus.
Setelah itu, ia kembali ke Naisapur untuk belajar kepada Abū al-Maālī al-Juwaynī seorang ahli ushūi dan Mutakallim yang tersohor dengan gelar Imam al-Haramayn. Al-Ghazālī pernah mulai menulis kitab pada masa hidup al-Juwaynī, sehingga al-Juwaynī marah dengan mengatakan, "Engkau telah 'menguburkan'ku, sedangkan aku masih hidup." Tetapi di lain hal, Al-Juwaynī memuji al-Ghazālī dengan mengatakan bahwa al-Ghazālī sebagai baḥr mughriq (lautan dalam yang menenggelamkan).
Adapun pertualangannya dalam ilmu Hadis, al-Ghazālī pernah belajar kitab al-Shahihayn kepada al-Hāfizh Abu al-Fatyan (503 H.), saat al-Hafizh mengunjungi kota Thus. Abu al-Fatyan dikenal sebagai muḥaddits yang banyak mengenal jalur periwayatan berbagai kitab Hadis. Selain itu, berdasarkan keterangan al-Subkī bahwa al-Ghazālī juga mempelajari al-Jāmi al-Shaḥīḥ karangan al-Bukhārī kepada Abū Sahl Muḥammad bin Abd Allāh al-Hafshī, serta Sunan Abū Dāwud kepada Ḥākim Abū al-Fatḥ al-Ḥakimī. Oleh karena itu, ia mempunyai sanad dalam Hadis dengan sanad yang luhur (ali) martabatnya daripada para muḥaddits sekarang, karena ia mengikuti samā secara langsung dari gurunya yang muttashil sampai ke Nabi Saw atau para penulis kitab Hadis. Keterangan ini merupakan bukti-bukti yang bisa memperbaiki beberapa asumsi keliru dari sebagai kalangan yang menganggap al-Ghazālī tidak mengikuti tradisi para ahli Hadis.
Selain itu, al-Ḥāfizh Murthadhá al-Zabīdī —komentetor terbaik kitab Iḥyā- menambahkan bahwa guru-guru al-Ghazālī yang lain dalam Hadis adalah Abū Muḥammad Abd Allāh bin Muḥammad al-Khawārī, Muḥammad bin Yaḥyá al-Sajjāī al-Zawzānī, dan Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi. Namun demikian, Ibn Najjār dalam al-Tarīkhnya dengan serta merta menuduh al-Ghazālī tidak memiliki sanad Hadis. Tetapi, Murthadhá al-Zabīdī membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan, "Tidak diragukan lagi bahwa al-Ghazālī telah mempelajari Hadis (dengan metode samā) pada masa mudanya, kemudian kembali menyibukkan dirinya untuk sama Hadis pada akhir hayatnya”.
Di dalam ilmu Tasawuf, al-Ghazālī belajar kepada Abū Alī al-Farmādī - salah seorang syeikh yang terdapat dalam silsilah tarekat Naqsyabandiyyah pra Bahā al-Dīn al-Naqsyabandī-. Ini sesuai dengan pengakuannya sendiri dengan mengatakan, "Aku mempelajari metode tasawuf (thariqah) kepada Abū Alī al-Farmādī. Adapun dalam ranah filsafat, al-Ghazālī tidak mempelajarinya melalui seorang guru pun. Tetapi ia mempelajarinya dengan otodidak selama kurang dari dua tahun. Kemudian, ia melakukan murājaah dan tafakkur selama setahun setelah dua tahun mempelajari filsafat. Hal ini tentu saja tidak mustahil bagi seorang al-Ghazālī yang sudah matang dalam ilmu kalam dan manthiq.
Adapun di antara murid-muridnya yang termasyhur, di antaranya adalah al-Qādhī Abū Bakar Ibn al-Arabī al-Mālikī seorang muḥaddits dan pakar Ilmu Ushul pada zamannya. Ia banyak mensyarah kitab Hadis seperti kitabnya Āridhat al-Aḥwadzī syarah Sunan al-Tirmidzī. Selain itu, terdapat seorang sejarawan Muslim, Abū al-Ḥasan al-Sulamī al-Shūfī, pengarang kitab Thabaqat al-Shūfīyah juga pernah menjadi murid al-Ghazālī.
Muridnya yang lain, seperti al-Qādhī Abū Nashr al-Khamqarī (466 H.), Abū al-Fatḥ Aḥmad bin Alī al-Ḥanbalī al-Ushūlī (518 H.), dan masih banyak tokoh-tokoh besar lainnya yang menjadi murid al-Ghazālī, namun tidak memungkinkan untuk disebutkan pada tulisan ini.
______________________________________________
Sumber : https://www.facebook.com/RibathNouraniyah/
>>>bersambung ke bagian 3<<<
Post a Comment