Para ulama berbeda pendapat dengan auliya tentang siapakah yang lebih utama dan lebih hebat: orang kaya yang bersyukur ataukah orang fakir yang bersabar?Para ahli tasawuf menyatakan bahwa orang yang fakir yang bersabar lebih hebat. Sementara para ulama mengatakan bahwa yang lebih hebat adalah orang kaya yang bersyukur. Dengan alasan, orang-orang fakir di kalangan sahabat mengatakan, “Orang-orang kaya membawa pahalanya.”
Ini bermula ketika Rasulullah SAW mengajarkan zikir kepada orang-orang fakir (yang pahalanya menandingi berinfak). Ternyata orang-orang kaya juga ikut berzikir. Hal itu membuat orang-orang fakir agak sedih. Rasululullah SAW kemudian bersabda, “Itulah anugerah Allah yang diberikan pada siapa yang dikehendaki-Nya”.
Hadits itu menunjukkan bahwa orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dan lebih hebat.
Sedangkan menurut para wali, karena mengetahui sulitnya kefakiran pada diri seseorang, sementara jalan kewalian adalah dengan melawan nafsu, kefakiran lebih tepat untuk mengobati hawa nafsu daripada kekayaan yang mencocoki keinginan atau naluri diri.
Kenapa kefakiran menurut para wali lebih utama daripada kekayaan?
Karena kefakiran dapat mengobati nafsu dan melawan keinginan-keinginannya yang muncul dari kecintaan pada harta.
Syekh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani menegaskan, “Semakin kamu melawan nafsumu, maka semakin dekat kamu dengan Tuhanmu.”
Sementara bagi orang kaya, kekayaan itu sesuai dengan naluri diri, membuat nafsu makin kuat. Karena itu orang kaya yang bersyukur menurut para ulama lebih baik dari orang sabar yang bersyukur, yang menurut para wali justru terbalik. Karena para wali menilai usaha melawan nafsu bukan pada hal yang sesuai dengan nafsu.
Dalam pandangan tarekat al-Yusriyah, untuk menghimpun dua pendapat ulama para wali di atas adalah dengan mengatakan, “Apa yang ditakdirkan untukmu, itulah yang lebih baik bagi dirimu.”
Dengan alasan, “Sebagian hamba-Ku ada yang tidak cocok kecuali kaya. Apabila Aku miskinkan, dia jadi rusak. Sebagian hamba-Ku ada yang tidak cocok kecuali kefakiran sehingga jika kaya dia jadi rusak”.
Orang fakir yang ditakdirkan fakir, jangan berandai-andai menjadi kaya, karena boleh jadi seandainya jadi kaya, dia mungkin akan menjadi orang jahat.
Biarkan dia dalam kefakirannya, duduk berzikir memegang tasbih, duduk di masjid Sayyid ad-Dardir dan menghadiri dars Shahih al-Bukhari misalnya. Sesuatu yang indah.
Boleh jadi seandainya Allah SWT memberikan banyak harta kepadanya, dia mungkin saja duduk di dekat seorang penari perempuan, di depannya ada gelas khamar sambil bermain judi.
Jadi apa yang lebih baik untuknya? Tentu kefakiran dan dia duduk di sini. “Sebagian hamba-Ku ada yang hanya cocok dengan kefakiran.”
Titik temu kedua pendapat dari para ulama dan auliya di atas terletak pada keridhaan pada apa yang ditakdirkan Allah SWT.
Apabila Allah SWT mentakdirkan untukmu kekayaan, maka itu lebih baik untukmu, dan kamu berkewajiban bertakwa pada Allah dalam kekayaanmu.
Apabila Allah SWT mentakdirkan untukmu kefakiran, maka bersabar dan bersyukurlah pada-Nya atas apa yang ditakdirkan padamu.
“Keridhaan dengan apa yang sudah ditakdirkan adalah karamah yang sesungguhnya.” tegas Syekh Yusri.
“Yang kaya tidak perlu mendambakan ingin fakir, dan yang miskin tidak perlu mendambakan jadi kaya. Masing-masing ridha pada yang ditakdirkan oleh Allah SWT.” imbuhnya.
—Source : Sanad Media
Terimakasih ilmunya, smga kita makin bersyukur n bersabar
ReplyDeletePost a Comment