Tapi saya di sini hanya akan mengulas kasus pemukulan terhadap istri dari sudut pandang Ilmu Qawa’id Tafsir. Kasus yang sedang kita bicarakan sebenarnya merujuk kepada Al-Qur’an ayat 34 dari surat an-Nisa’:
“وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً”
Dalam ayat ini terdapat satu kata “واضْرِبُوهُنَّ” yang selalu dimaknai “memukul”, sehingga ayat itu diterjemahkan begini:
“Dan istri-istri yang kamu khawatirkan nusyuznya (meremehkan dan tidak mentaati suaminya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
Sebenarnya kata “ضَرَبَ” dalam kajian Qawa’id Tafsir termasuk ke dalam kelompok lafaz musytarak (homonym atau polysemy), yaitu kata yang mempunyai lebih dari satu makna.
Secara umum kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an mempunyai lebih dari satu makna, sehingga ada kaidah tafsir menyatakan bahwa:
“عَامَّةُ أَلْفَاظِ الْقُرْآنِ تَدُلُّ عَلَى مَعْنَيَيْنِ فَأَكْثَرَ”
artinya: “Umumnya kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an itu mempunyai dua makna atau lebih.” (Khalid bin Utsman Al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, j. 2, h. 794.)
Para pengkaji Al-Qur’an belum lagi dianggap paham dengannya melainkan bila mengetahui berbagai dimensi makna yang terkandung dalam ayat-ayatnya. Abu Darda’, salah seorang dari shahabat Nabi, berkata:
“إِنَّكَ لَنْ تَفْقَهَ كُلَّ الْفِقْهِ حَتَّى تَرَى لِلْقُرْآنِ وُجُوْهًا كَثِيْرَةً”
(Anda tidak akan benar-benar paham sehingga Anda mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an itu mempunyai makna yang banyak), (Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, j. 2, h. 101).
Karena itu, penggunaan kata “ضَرَبَ” tersebut dan derivasinya dalam Al-Qur’an kita jumpai dengan beberapa makna, antara lain dengan makna:
(1). Memukul, seperti pada ayat 60 surat al-Baqarah:
“اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ”
(Pukullah batu itu dengan tongkatmu)
(2). Mengadakan atau membuat, pada surat al-Hadid ayat 57:
“فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ”
(Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu)
(3). Menutup, seperti pada surat al-Kahfi ayat 11:
“فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا”
(Maka Kami tutup telinga mereka bertahun-tahun dalam gua itu)
(4). Bepergian atau melakukan perjalanan, seperti pada ayat 20 surat al-Muzzammil:
“وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ”
(dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah).
Lalu, apa makna kata “وَاضْرِبُوهُنَّ” dalam surat an-Nisa’ ayat 34 di atas? Mayoritas ulama memakai makna pertama, “memukul”, pandangan ini didukung dengan hadits yang memberi batasan bahwa pukulan tersebut tidak menyakiti dan tidak meninggalkan bekas pada tubuh istri:
“ضَرَبَهَا ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ”
(memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitinya). (Tafsir al-Thabari, j. 8, h. 311)
Tetapi di daerah kami, Kampar, dahulu, bila terjadi percekcokan antara suami dan istri, maka suami pergi meninggalkan rumah beberapa waktu; ada yang bepergian ke daerah lain dan minimal ada yang pergi ke rumah keluarganya dengan tujuan menenangkan pikiran dan agar suami-istri intropeksi diri terhadap kesalahan masing-masing.
Tradisi ini disebut dalam bahasa daerahnya dengan istilah “monggok”. Kemudian, mereka kembali berdamai atau didamaikan oleh pihak keluarga. Ternyata dahulu kaum lelaki di Kampar lebih memilih makna ke-4 (bepergian) untuk kata “وَاضْرِبُوهُنَّ” dalam ayat tersebut, ketimbang makna pertama, meskipun hal itu memungkinkan untuk dilakukan. Ini juga menunjukkan ketinggian adat dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat kita.
Wallahu a’lam bis shawab !
إرسال تعليق