Boleh jadi dibandingkan dengan semua cabang ilmu keislaman lainnya, ilmu fiqih termasuk salah satu cabang ilmu yang paling siap dan adaptif dengan perubahan zaman.
Ilmu Qiraat Al-Quran sebagai perbadingan, sejak dari zaman Nabi SAW sudah sedemikian itu adanya. Turun dari langit (baca: Allah SWT) dibawa oleh Malaikat Jibril alaihissalam kepada Nabi SAW sudah baku.
Maksudnya begitu bunyi bacaannya, ya begitu lah untuk seterusnya. Kalau pun ada istilah qiraat sab'ah, sebenarnya bukan pengembangan dari satu bacaan tumbuh menjadi 7 bacaan.
Qiroah Sab'ah hanya upaya pendokumentasian yang dipetakan oleh Ibnu Mujahid di tahun 324 H. Beliau memilih dari beberapa wilayah negeri Islam masing-masung seorang ahli qiroah yang sekiranya menjadi perwakilan dari umumnya qiraat yang paling masyhur negeri itu.
Namun setelah dipetakan dengan ditetapkan masing-masing 2 perawi, hingga hari ini tidak berubah. Apapun yang terjadi dan bergejolak di atas muka bumi, bacaan Al-Quran akan terus abadi tanpa perubahan.
Berbeda dengan Ilmu Fiqih yang sangat dinamis dari dua sisi.
Pertama, cabang atau tema kajian ilmu fiqih selalu tumbuh dan berkembang sepanjang lintasan sejarah.
Kedua, apa-apa yang sudah matang dan tertulis sebelumnya, sangat dimungkinkan terjadi koreksi di masa-masa berikutnya. Dengan catatan perubahan itu dilakukan oleh ahlinya sebagai antisipasi perubahan zaman.
Saya dalam tulisan ini ingin lebih fokus pada contoh di bagian kedua ini.
1. Nasakh Mansukh
Di dalam pelajaran Ilmu Al-Quran kita belajar bab nasakh dan mansukh, yaitu kajian tentang ayat yang sudah turun sebelumnya, lalu tiba-tiba dihapuskan oleh Allah SWT.
Bentuk penghapusannya cukup beragam. Terkadang yang dihapus hanya teks ayatnya saja sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Kadang yang dihapus hanya sebatas hukumnya saja, sedangkan teks ayatnya tetap tertulis dalam mushaf.
Namun ada juga kasus dimana teks dan hukumnya sama-sama dihapus alias dua-duanya.
Fenomena nasakh dan mansukh ini unik sekali. Karena terjadinya justru di lubuk Al-Quran sebagai kitab suci yang sakral dan kekal.
Tidak boleh ada pihak yang menolak berlakunya ketetapan Tuhan dalam kitab suci. Namanya saja kitab suci, pastilah suci dari segala kesalahan atau kekeliruan, apalagi sampai dihapus. Jelas itu tindakan durhaka.
Tapi kalau yang mengubah isi kitab suci itu justru Tuhan sendiri, terus kita mau apa?
Mau menolak? Mau melawan? Mau berhenti bertuhan? Mau ngambek dan ogah beriman kepada kitab suci?
Tentu tidak kan?
Dalam hal semacam ini, kita sadar bahwa urusan mengubah isi kitab suci adalah hak preogratif Tuhan sendiri. Justru karena Dia itu Tuhan, maka Dia berhak melakukan apa saja, termasuk mengubah isi kitab suci.
Apakah berarti Tuhan itu mencla-mencle tidak punya prinsip? Oh hati-hati kalau bicara, saudara.
Ketahuilah bahwa Tuhan tidak mengubah suatu ayat dalam Al-Quran, kecuali Dia datangkan dengan yang lebih baik atau setidaknya setara dengan ayat sebelumnya.
Namun satu hal yang ingin kita catat disini, bahwa hukum Tuhan itu bisa berubah, sangat dinamis, bahkan ketika masih di dalam kitab suci.
Tentu dengan satu catatan lagi (dan ini justru paling penting) bahwa yang boleh mengubah hukum di dalam kitab suci Al-QurN itu hanya Tuhan saja. Ketika Al-Quran sudah selesai diturunkan secara keseluruhan, sudah tidak ada lagi cerita mengubah-ubah isi hukumnya.
2. Fenomena Itjihad
Kita sepakat bahwa selama hukum suatu masalah sudah ditetapkan di dalam Al-Quran secara tegas, maka tidak boleh kita mengabaikannya.
Namun bagaimana bila suatu masalah tidak dijelaskan hukumnya di dalam Al-Quran secara langsung? Apakah kita tetap memaksakan pakai Al-Quran atau kita biarkan saja kasusnya dalam arti jatuh hukumnya menjadi boleh.
Dalam hal ini boleh jadi ada dua macam sikap yang masing-masingnya bisa digunakan, asal cocok dengan konteks yang kebutuhannya.
Misalnya dalam kasus tertentu, karena Al-Quran memang tidak mengaturnya, berarti kita berada pada posisi netral alias boleh-boleh saja.
Contoh sederhana misalnya ketika Al-Quran tidak mewajibkan kita yang bukan Arab ini untuk berbicara dengan bahasa negeri masing-masing, makan dengan menu negeri masing-masing, bahkan berpola pakaian sesuai dengan negeri masing-masing, maka hukumnya menjadi boleh-boleh saja.
Kenapa?
Karena Al-Quran memang tidak mengatur hal itu dan diserahkan kepada kita semua. Atau dalam bahasa hukumnya, hukum syariah tidak ikut campur dalam urusan ini.
Namun kadang juga terjadi masalah yang harus ada ketentuan hukumnya, sedangkan Al-Quran secara eksplisit sama sekali tidak menyebutkan hal itu.
Contoh kongkritnya adalah hukum menghisap daun ganja. Tidak ada kata ganja di dalam Al-Quran. Artinya Al-Quran tidak mengatur urusan per-ganja-an. Lalu apakah hukum menghisap ganja menjadi boleh, dengan alasan bahwa Al-Quran tidak melarangnya?
Jawabannya tentu tidak demikian. Menghisap ganja hukumnya haram, meski pun larangannya sendiri malah tidak tercantum dalam ayat Al-Quran.
Siapa yang mengharamkannya dan atas dasar apa?
Yang melarangnya adalah para ulama atas dasar qiyas dengan ayat Al-Quran yang mengharamkan khamar. Benar bahwa Al-Quran tidak mengharamkan hisap ganja. Namun antara hisap ganja dengan minum khamar punya kesamaan 'illat hukum, yaitu sama-sama memabukkan.
Proses mengqiyas antara haramnya khamar dan ganja ini sesungguhnya adalah ijtihad itu sendiri. Itulah yang dimaksud oleh Muadz bin Jabal ketika ditanya oleh Nabi SAW tentang apa yang dilakukan bila suatu masalah tidak ditemukan ketentuan hukumnya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Saat itu Muadz bin Jabal menegaskan : Sa ajtahidu ra'yi (سأجتهد رأيي). Kira-kira maknanya : saya akan berijtihad dengan menggunakan logika saya.
Tentu saja yang dimaksud dengan berijtihad itu bukan berarti tidak menggunakan Al-Quran sama sekali. Tetapi ijtihad itu adalah mencari secara lebih dalam pesan-pesan hukum di dalam Al-Quran meski pun tidak tertuang secara eksplisit.
Ijtihad adalah menemukan pesan-pesan tersirat di balik yang tersurat. Dalam hal ini ketika Al-Quran mengharamkan khamar, maka pesan yang menjadi intinya adalah diharamkannya mengkonsumsi segala produk yang memabukkan. Kata kuncinya adalah : al-iskar (memabukkan).
Kalau sudah ketemu kata kuncinya, maka tinggal diterapkan dalam kasus-kasus nyata sehari-hari, meskipun kasus itu tidak termuat secara eksklusif di dalam Al-Quran.
(Bersambung)
Sumber: FP Ustadz Ahmad Sarwat
Ilmu Qiraat Al-Quran sebagai perbadingan, sejak dari zaman Nabi SAW sudah sedemikian itu adanya. Turun dari langit (baca: Allah SWT) dibawa oleh Malaikat Jibril alaihissalam kepada Nabi SAW sudah baku.
Maksudnya begitu bunyi bacaannya, ya begitu lah untuk seterusnya. Kalau pun ada istilah qiraat sab'ah, sebenarnya bukan pengembangan dari satu bacaan tumbuh menjadi 7 bacaan.
Qiroah Sab'ah hanya upaya pendokumentasian yang dipetakan oleh Ibnu Mujahid di tahun 324 H. Beliau memilih dari beberapa wilayah negeri Islam masing-masung seorang ahli qiroah yang sekiranya menjadi perwakilan dari umumnya qiraat yang paling masyhur negeri itu.
Namun setelah dipetakan dengan ditetapkan masing-masing 2 perawi, hingga hari ini tidak berubah. Apapun yang terjadi dan bergejolak di atas muka bumi, bacaan Al-Quran akan terus abadi tanpa perubahan.
Berbeda dengan Ilmu Fiqih yang sangat dinamis dari dua sisi.
Pertama, cabang atau tema kajian ilmu fiqih selalu tumbuh dan berkembang sepanjang lintasan sejarah.
Kedua, apa-apa yang sudah matang dan tertulis sebelumnya, sangat dimungkinkan terjadi koreksi di masa-masa berikutnya. Dengan catatan perubahan itu dilakukan oleh ahlinya sebagai antisipasi perubahan zaman.
Saya dalam tulisan ini ingin lebih fokus pada contoh di bagian kedua ini.
1. Nasakh Mansukh
Di dalam pelajaran Ilmu Al-Quran kita belajar bab nasakh dan mansukh, yaitu kajian tentang ayat yang sudah turun sebelumnya, lalu tiba-tiba dihapuskan oleh Allah SWT.
Bentuk penghapusannya cukup beragam. Terkadang yang dihapus hanya teks ayatnya saja sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Kadang yang dihapus hanya sebatas hukumnya saja, sedangkan teks ayatnya tetap tertulis dalam mushaf.
Namun ada juga kasus dimana teks dan hukumnya sama-sama dihapus alias dua-duanya.
Fenomena nasakh dan mansukh ini unik sekali. Karena terjadinya justru di lubuk Al-Quran sebagai kitab suci yang sakral dan kekal.
Tidak boleh ada pihak yang menolak berlakunya ketetapan Tuhan dalam kitab suci. Namanya saja kitab suci, pastilah suci dari segala kesalahan atau kekeliruan, apalagi sampai dihapus. Jelas itu tindakan durhaka.
Tapi kalau yang mengubah isi kitab suci itu justru Tuhan sendiri, terus kita mau apa?
Mau menolak? Mau melawan? Mau berhenti bertuhan? Mau ngambek dan ogah beriman kepada kitab suci?
Tentu tidak kan?
Dalam hal semacam ini, kita sadar bahwa urusan mengubah isi kitab suci adalah hak preogratif Tuhan sendiri. Justru karena Dia itu Tuhan, maka Dia berhak melakukan apa saja, termasuk mengubah isi kitab suci.
Apakah berarti Tuhan itu mencla-mencle tidak punya prinsip? Oh hati-hati kalau bicara, saudara.
Ketahuilah bahwa Tuhan tidak mengubah suatu ayat dalam Al-Quran, kecuali Dia datangkan dengan yang lebih baik atau setidaknya setara dengan ayat sebelumnya.
Namun satu hal yang ingin kita catat disini, bahwa hukum Tuhan itu bisa berubah, sangat dinamis, bahkan ketika masih di dalam kitab suci.
Tentu dengan satu catatan lagi (dan ini justru paling penting) bahwa yang boleh mengubah hukum di dalam kitab suci Al-QurN itu hanya Tuhan saja. Ketika Al-Quran sudah selesai diturunkan secara keseluruhan, sudah tidak ada lagi cerita mengubah-ubah isi hukumnya.
2. Fenomena Itjihad
Kita sepakat bahwa selama hukum suatu masalah sudah ditetapkan di dalam Al-Quran secara tegas, maka tidak boleh kita mengabaikannya.
Namun bagaimana bila suatu masalah tidak dijelaskan hukumnya di dalam Al-Quran secara langsung? Apakah kita tetap memaksakan pakai Al-Quran atau kita biarkan saja kasusnya dalam arti jatuh hukumnya menjadi boleh.
Dalam hal ini boleh jadi ada dua macam sikap yang masing-masingnya bisa digunakan, asal cocok dengan konteks yang kebutuhannya.
Misalnya dalam kasus tertentu, karena Al-Quran memang tidak mengaturnya, berarti kita berada pada posisi netral alias boleh-boleh saja.
Contoh sederhana misalnya ketika Al-Quran tidak mewajibkan kita yang bukan Arab ini untuk berbicara dengan bahasa negeri masing-masing, makan dengan menu negeri masing-masing, bahkan berpola pakaian sesuai dengan negeri masing-masing, maka hukumnya menjadi boleh-boleh saja.
Kenapa?
Karena Al-Quran memang tidak mengatur hal itu dan diserahkan kepada kita semua. Atau dalam bahasa hukumnya, hukum syariah tidak ikut campur dalam urusan ini.
Namun kadang juga terjadi masalah yang harus ada ketentuan hukumnya, sedangkan Al-Quran secara eksplisit sama sekali tidak menyebutkan hal itu.
Contoh kongkritnya adalah hukum menghisap daun ganja. Tidak ada kata ganja di dalam Al-Quran. Artinya Al-Quran tidak mengatur urusan per-ganja-an. Lalu apakah hukum menghisap ganja menjadi boleh, dengan alasan bahwa Al-Quran tidak melarangnya?
Jawabannya tentu tidak demikian. Menghisap ganja hukumnya haram, meski pun larangannya sendiri malah tidak tercantum dalam ayat Al-Quran.
Siapa yang mengharamkannya dan atas dasar apa?
Yang melarangnya adalah para ulama atas dasar qiyas dengan ayat Al-Quran yang mengharamkan khamar. Benar bahwa Al-Quran tidak mengharamkan hisap ganja. Namun antara hisap ganja dengan minum khamar punya kesamaan 'illat hukum, yaitu sama-sama memabukkan.
Proses mengqiyas antara haramnya khamar dan ganja ini sesungguhnya adalah ijtihad itu sendiri. Itulah yang dimaksud oleh Muadz bin Jabal ketika ditanya oleh Nabi SAW tentang apa yang dilakukan bila suatu masalah tidak ditemukan ketentuan hukumnya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Saat itu Muadz bin Jabal menegaskan : Sa ajtahidu ra'yi (سأجتهد رأيي). Kira-kira maknanya : saya akan berijtihad dengan menggunakan logika saya.
Tentu saja yang dimaksud dengan berijtihad itu bukan berarti tidak menggunakan Al-Quran sama sekali. Tetapi ijtihad itu adalah mencari secara lebih dalam pesan-pesan hukum di dalam Al-Quran meski pun tidak tertuang secara eksplisit.
Ijtihad adalah menemukan pesan-pesan tersirat di balik yang tersurat. Dalam hal ini ketika Al-Quran mengharamkan khamar, maka pesan yang menjadi intinya adalah diharamkannya mengkonsumsi segala produk yang memabukkan. Kata kuncinya adalah : al-iskar (memabukkan).
Kalau sudah ketemu kata kuncinya, maka tinggal diterapkan dalam kasus-kasus nyata sehari-hari, meskipun kasus itu tidak termuat secara eksklusif di dalam Al-Quran.
(Bersambung)
Sumber: FP Ustadz Ahmad Sarwat
Post a Comment