Tajuddin as-Subuki, Wafat di Usia Muda dengan Karya yang Mendunia

Dalam belantika kajian ushul fiqh, khususnya di beberapa pondok pesantren salaf, kitab Jam’ul al-Jawami’ adalah sebuah masterpiece yang tak lekang oleh zaman. Karya besar ini ditulis oleh seorang ulama besar bergelar Tajuddin as-Subuki (mahkota agama dari desa Subuki). Ada sebuah idiom khas pesantren, “Belum dikatakan menguasai ilmu ushul fiqh, sebelum mampu memahami kitab Jam’ul al-Jawami”.

Hal ini, dikarenakan kitab Jam’ul al-Jawami’ adalah karya yang dihasilkan berkat penelitian yang sangat panjang sebagaimana yang diutarakan Tajuddin as-Subuki dalam mukadimah dalam kitab Jam’ul al-Jawami’. “Aku menuliskan kitab Jam’ul al-Jawami’ dengan kaidah yang disepakati para ulama. Aku menulisnya dengan sangat berhati-hati dan bersungguh-sungguh. Dan aku telah meneliti lebih dari seratus karya tulis yang ditulis oleh ulama terdahulu. Kitab Jam’ul al-Jawami’ ini adalah kitab yang telah mencakup seluruh karya tulisku yang terdahulu dalam ilmu Ushul Fiqh”.

Beliau bernama lengkap Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi bin Ali bin Tamam as-Subuki. Dijuluki juga dengan Tajuddin as-Subuki. Ayah beliau yang dijuluki dengan Taqiyuddin as-Subuki (pelindung agama dari desa Subuki) terlahir dari sebuah desa di provinsi Manufiyyah, negara Mesir, yang bernama desa Subuki atau yang sekarang dikenal juga dengan nama desa Subuki al-‘Uwaidhat. Leluhur Tajuddin as-Subuki adalah pembesar dari kalangan Anshar (golongan shahabat Nabi yang berasal dari kota Madinah). Menurut Abdul Hayy Ibnu Imad dalam kitab Syudzurat adz-Dzahab fi Akhbar min Dzahab (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1986, vol. 6 hal. 221), Tajuddin as-Subuki lahir di kota Kairo pada tahun 727 H. Kemudian, pada Jumadil Akhir tahun 739 H ayah beliau Taqiyuddin as-Subuki diangkat menjadi qadhi di kota Damaskus, negara Suriah. Oleh karena itu, Tajuddin as-Subuki sejak umur sebelas tahun telah dibawa ayahnya untuk belajar kepada para pembesar ulama negara Suriah.

Di antara guru-guru dari Tajuddin as-Subuki adalah ayah beliau sendiri yaitu Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki (w. 756 H), Fathuddin Muhammad bin Muhammad al-Andalusi (w. 734 H), Aminuddin Abdul Muhsin bin Ahmad as-Shabuni (w. 736 H), Zainab bin al-Kamal Ahmad al-Maqdisi (w. 740 H), Abu Hajjaj Yusuf bin az-Zakki (w. 742 H), Syamsuddin Muhammad adz-Dzahabi (w. 748 H), Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Naqib (w. 745 H), dan Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi (w. 745 H).

Tajuddin as-Subuki telah terkenal dengan kecerdasan serta daya hafalnya yang melebihi rata-rata. Hal ini dibuktikan dengan berbagai pencapaian yang mengagumkan di usianya yang masih belia. Di antara pencapaiannya yang dicatat oleh Ibnu Syuhbah dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah (Beirut: Darul Fikr, 2010, vol. 10 hal. 194) adalah Tajuddin as-Subuki mendapatkan izin untuk berfatwa dan mengajar dari Syekh Ibnu Naqib di usianya yang belum genap 18 tahun. Selain itu, ayah beliau juga memberikannya gelar Mufti al-Islam (ahli fatwa Islam) setelah ia berhasil memecahkan permasalahan sulit dalam fiqih mazhab Syafi’i. Bahkan, Syamsuddin Muhammad adz-Dzahabi, salah satu guru Tajuddin as-Subuki juga memujinya dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash bi al-Muhadditsin (Riyadh: Maktabah as-Shiddiq, 1988, hal. 152), “Ia (Tajuddin as-Subuki) telah menulis beberapa hadits dariku, aku berharap ia semakin rajin menggeluti bidang keilmuan, hingga nantinya ia mengajar dan berfatwa.”

Dikisahkan, Syekh Yusuf al-Mizzi salah satu gurunya memujinya sebagai seorang calon ulama besar dalam ilmu hadits. Mendengar hal itu, ayahnya menuliskan sebuah surat “Sungguh ini terlalu berlebihan wahai Syekh, anakku masih terlalu muda dan tak pantas mendapatkan pujian yang tinggi, anggaplah ia sebagai pemula dalam bidang ilmu Hadits”. Maka, Syamsuddin Muhammad adz-Dzahabi mengatakan kepada ayahnya “Sungguh anakmu diatas rata-rata, ia adalah seorang ahli Hadits yang sangat bagus”. Taqiyuddin as-Subuki selaku ayah dari Tajuddin as-Subuki pun tersenyum bangga mendengar banyak pujian dari para ulama “Sungguh aku merasa anakku masih belum pantas meraih pujian tersebut, ia masih tengah-tengah (mutawassith) tidak terlalu pemula tapi juga tidak terlalu unggul” (Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, al-Ushul wal Ushuliyyun, Dar al-Faruq Manshurah, 2019, vol. 2 hal. 340).

As-Suyuthi menyatakan, Tajuddin as-Subuki adalah seorang ulama yang mulai menulis karya ilmiyahnya di umur 20 tahun. Suatu ketika, ia pernah mengirim surat kepada panguasa negara Suriah, “Sungguh di masa sekarang aku telah mencapai derajat ijtihad yang tak tertandingi”. As-Suyuthi berkomentar “Di zamannya tidak ada yang menampik bahwa Tajuddin as-Subuki adalah seorang pakar yang tiada tanding” (Jalaluddin as-Suyuthi, Husn al-Muhadharah fi Tarikh Mishr wal Qahirah, Beirut: Darul Kutub al-, 2011,  vol. 1 hal. 328).

Pembelaan Tajuddin as-Subuki terhadap Abu Hasan al-Asy’ari

اعلم أن أبا الحسن لم يبدع رأيا، ولم ينش مذهبا وإنما هو مقرر لمذهب السلف، مناضل عما كانت عليه أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فالانتساب إليه إنما هو باعتبار أنه عقد على طريق السلف نطاقا وتمسك به وأقام الحجاج والبراهين عليه فصار المقتدي به في ذالك السالك سبيله في الدلائل يسمى أشعريا.

“Ketahuilah, sungguh Abu Hasan tidaklah membuat bid’ah pemikiran, bukan juga mendirikan mazhab baru, akan tetapi ia meneguhkan mazhab ulama terdahulu, ia membela manhaj yang dibawa oleh para sahabat Nabi Saw. Maka penisbatan kepadanya adalah disebabkan ia meneguhkan jalan para ulama salaf dengan argumentasinya, ia berpegang teguh serta mendirikan argumentasi yang kuat atas manhaj ulama salaf. Maka, yang diikuti dari manhaj Abu Hasan beserta dalil-dalilnya disebut dengan Asy’ariyyan” (Tajuddin as-Subuki, Thabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2009, vol. 3 hal. 365).

Tajuddin as-Subuki wafat pada tahun 771 H di usia 43 tahun. Meskipun wafat di usia muda, akan tetapi karyanya sangat mendunia. Tercatat empat karya Tajuddin as-Subuki dalam ilmu ushul fiqh, yaitu kitab al-Ibhaj syarh Minhaj, kitab Raf’ul Hajib ‘an Mukhtashar Ibnu Hajib, kitab Jam’ul Jawami’, dan kitab Man’ul Mawani’ menjadi karya yang banyak dipakai diberbagai belahan dunia.

Di antara bukti semangat berkarya Tajuddin as-Subuki adalah catatan beliau dalam mukadimah kitab Man’ul Mawani’:

ولا يخلو لنا وقت يمر بنا خاليا عن التصنيف ولا يخلو لنا زمن إلا وقد تقلد عقده جواهر التأليف ولا يخلو علينا الدهر ساعة فراغ إلا ويعمل فيها القلم بالترتيب والترصيف.

Dan tidak berjalan waktu sedikitpun yang kosong dari menulis karya ilmiah. Dan tidak berjalan zaman sedikitpun kecuali karya-karya besar kami selalu memecahkan permasalahan yang rumit. Dan tidak berjalan tahun sedikitpun kecuali pena kami selalu terpakai untuk mengurutkan serta merevisi.


________________________________________
Oleh: Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post