Hari Raya' 6, Bid'ah?

'Hari Raya' 6 adalah sebuah tradisi di beberapa daerah di Kabupaten Kampar.

Terkadang memang ada sebagian ulama yang menganggap tradisi ini bid'ah. Berdasarkan bahwa ini persoalan tidak ada pada masa Nabi, Sahbaat dan generasi terbaik.


Namun, ada pula sementara Ulama yg membolehkan. Mengingat 'hari Raya' 6 ini hakikatnya hanyalah manifestasi syukur, dimana ia telah diberikan taufiq dan kemudahan dalam menjalankan Sunnah Nabi dalam puasa Syawal. Kesyukuran itu lahir dalam bentuk membuat makanan tertentu dan menghdiahkanya kepada karib kerabat, sanak famili, dan Jiran tetangga.
الحكم على الشيء فرع عن تصوره

..''Menghukum sesuatu, mesti tau terlebih dahulu hakikat apa sebenarnya sesuatu itu..''

Inilah salah satu langkah yg ditempuh ulama fiqih sblm mengeluarkan fatwa. Dari tashawwur yg benar baru di'takyiif' utk selanjutnya diberikan penjelasan hukum.

Dari metode di atas, ulama yg membolehkan 'Hari Raya' 6 menganggap hal ini bukanlah menambah2 dalam syariat, tradisi ini ada hanya sekedar bentuk sedekah makanan,  shillaturrahim dan diikuti pula dengan ziarah kubur.

Perayaan ini sama halnya dgn merayakan hari kemerdekaan sebuah negara, hari buruh,hari Ibu, dan lain sebagainya.

Di Mesir ada 'hari Raya' pembebasan Sinai (Thursina). Hari dimana Mesir menang perang, berhasil mempertahankan Sinai dari Israel. Pada tanggal tersebut, warga Mesir bergembira, semua instansi diliburkan (tanggal merah). Mereka kunjung mengunjungi, hadiah menghadiahi dan memberikan jamuan makan.

Dalam konteks keindonesiaan, ada hari lahirnya Pancasila, berikut hari 'kesaktian' Pancasila. Dimana, di hari2 tsb mereka 'bergembira' mengingat kisah2 heroik dan kisah2 lainnya. Oleh karenanya mereka bersedekah, membaca sejarah, dan bershilaturrahim.

Persoalan ini pernah ditanyakan kepada Guru kami di al-Azhar dulu, Syaikh 'Athiyyah Shaqar dalam himpunan fatwanya berjudul Fatawa al-Azhar.

Berikut ringkasan fatwanya:

ﻣﺎ ﺭﺃﻯ اﻟﺪﻳﻦ ﻓﻰ اﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻌﺾ اﻟﺪﻭﻝ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩ ﻣﺜﻞ ﺃﻋﻴﺎﺩ اﻟﻨﺼﺮ ﻭﻋﻴﺪ اﻟﻌﻤﺎﻝ ﻭﻋﻴﺪ ﺭﺃﺱ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ؟

Apa pandangan Islam tentang perayaan di sebagian negara seperti memperingati hari kemerdekaan, hari buruh, perayaan awal tahun dan sebagainnya?

Beliau menjawab:

ﻭﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺩﻳﻨﻰ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﻌﻴﺪﻯ اﻟﻔﻄﺮ ﻭاﻷﺿﺤﻰ، ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﻴﺮ ﻣﻨﺼﻮﺹ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻟﻬﺠﺮﺓ ﻭاﻹﺳﺮاء ﻭاﻟﻤﻌﺮاﺝ ﻭاﻟﻤﻮﻟﺪ اﻟﻨﺒﻮﻯ

Hukum Memperingati Hari Besar kaitannya dengan agama ada 2. Pertama, adalah dijelaskan dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Kedua, tidak dijelaskan dalam agama seperti hijrah, Isra’ dan Mi’raj, serta Maulid Nabi

ﻓﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﺆﺩﻯ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺬﻯ ﺷﺮﻉ، ﻭﻻ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻠﻠﻨﺎﺱ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻗﻔﺎﻥ، ﻣﻮﻗﻒ اﻟﻤﻨﻊ ﻷﻧﻪ ﺑﺪﻋﺔ، ﻭﻣﻮﻗﻒ اﻟﺠﻮاﺯ ﻟﻌﺪﻡ اﻟﻨﺺ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻌﻪ

Perayaan yang dijelaskan dalam Islam hukumnya disyariatkan dengan syarat dilakukan sesuai perintahnya. Dan perayaan yang tidak dijelaskan dalam Islam maka bagi umat Islam ada 2 pendapat. Ada yang melarang karena dianggap Bid’ah. Ada juga yang membolehkan karena tidak ada dalil yang melarangnya.

ﻓﺎﻟﺨﻼﺻﺔ ﺃﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﺄﻳﺔ ﻣﻨﺎﺳﺒﺔ ﻃﻴﺒﺔ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻣﺎ ﺩاﻡ اﻟﻐﺮﺽ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ ﻭاﻷﺳﻠﻮﺏ ﻓﻰ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻻ ﺿﻴﺮ ﻓﻰ ﺗﺴﻤﻴﺔ اﻻﺣﺘﻔﺎﻻﺕ ﺑﺎﻷﻋﻴﺎﺩ، ﻓﺎﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﻤﺴﻤﻴﺎﺕ ﻻ ﺑﺎﻷﺳﻤﺎء

Kesimpulannya. Apapun bentuk perayaan yang baik adalah tidak apa-apa, selama tujuannya sesuai dengan syariat dan rangkaian acaranya masih dalam koridor dalam Islam. Boleh saja peringatan itu disebut perayaan. Sebab yang dinilai adalah subtansinya, bukan namanya.
(Fatawa Al-Azhar, 10/160)

Sekali lagi, 'Hari Raya' 6 hanya sekedar bersilaturahmi ke tetangga dan kerabat dengan menyuguhkan makanan khas, dinikmati bersama setelah puasa sunah 6 hari bulan Syawal. Juga disertai ziarah kubur. Namun, jika ada kekeliruan dalam ziarah ini maka cukup dgn memperbaiki kekeliruan tersebut. Misalnya, jika terjadi ikhtilat, sebisa mungkin dihindarkan dgn aturan-aturan khusus.

Di sisi lain, sementara pakar juga mengomentari bahwa potensi ikhtilat ini ada di setiap 'perayaan' dan perkumpulan. Tak terkecuali Idul Fitri, Idul Adha dan bahkan di saat Ibadah Haji. Tinggal kita menghindarinya sebisa mungkin demi menjaga kesucian jiwa.

Kembali ke persoalan, bukankah Nabi hanya mengakui 2 hari raya dan tidak mengakui selain Idul Fitri dan Idul Adha? Nabi bersabda:

«ﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻗﻮﻡ ﻋﻴﺪا، ﻭَﺇِﻥَّ ﻋﻴﺪﻧﺎ ﻫَﺬَا اﻟﻴَﻮْﻡُ»

“Sungguh bagi setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita” (HR Bukhari dan Muslim)

Syaikh Athiyah Saqar (Mufti al-Azhar) menjawabnya:

ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻧﺺ ﻳﻤﻨﻊ اﻟﻔﺮﺡ ﻭاﻟﺴﺮﻭﺭ ﻓﻰ ﻏﻴﺮ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻌﻴﺪﻳﻦ، ﻓﻘﺪ ﺳﺠﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺮﺡ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑﻨﺼﺮ اﻟﻠَّﻪ ﻟﻐﻠﺒﺔ اﻟﺮﻭﻡ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻛﺎﻧﻮا ﻣﻐﻠﻮﺑﻴﻦ ” ﺃﻭاﺋﻞ ﺳﻮﺭﺓ اﻟﺮﻭﻡ “.

Tidak ada dalil yang melarang untuk menampakkan rasa bahagia di selain 2 hari raya tersebut. Sungguh Al Qur’an telah menegaskan kebahagiaan umat Islam atas pertolongan Allah yang diberikan kepada Bangsa Romawi atas kemenangan mereka setelah sebelumnya mereka kalah, yang dijelaskan dalam permulaan Surat Ar-Rum.
(Fatawa Al-Azhar, 10/160)

Saya pribadi sepakat dengan Fatwa ini. Namun jika ada yg tidak setuju, biarlah ia menjadi perdebatan di ranah ilmiyah yg jangan sampai merusak kerukunan hati kita sesama muslim.

Bagaimanapun, diperlukan kearifan dan hati yg lapang jika berhadapan dgn persoalan ikhtilaf.

Wallahu a'lam.

al-Faqir
Dr. H. Zul Ikromi, Lc., MA

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post