Allah Ada Tanpa Tempat (Imam Abu Hanifah Membungkam Atheis dari Sekte Dahriyyah)

Imam Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Syafi'i bercerita di dalam kitab Fath al-Majid Syarh al-Durr al-Farid Fi 'Aqaid Ahli al-Tauhid pada pembahasan sifat Allah, wujud, tentang perdebatan Imam Abu Hanifah dengan seorang atheis dari Sekte Dahriyyah. Bagus untuk diambil pelajaran.


Antheis dari sekte Dahriyyah adalah orang-orang yang menafikan keberadaan Allah, mereka meyakini segala sesuatu tercipta dan punah hanya karena faktor dahr/waktu, bukan karena Allah yang menciptakan. Mereka menganggap adanya manusia di alam ini karena manusia dimuntahkan oleh rahim dan kelak ditelan oleh bumi. Semboyan mereka, Tidak ada yang membinasakan kami kecuali dahr/waktu. Mereka menafikan ba'ats (kebangkitan manusia pada hari kiamat).

Diceritakan, seorang atheis dari sekte Dahriyyah muncul di masa guru Imam Abu Hanifah, Hammad bin Abi Sulaiman. Dia menantang semua ulama dan dia mengalahkan semua ulama dalam berdebat tentang Allah wujud tanpa tempat. Setelah semua ulama dikalahkannya, dia masih menantang, "Apakah masih ada orang alim yang tersisa diantara ulama kalian?" Orang-orang yang hadir waktu itu menjawab: "Iya, masih ada yang tersisa, yaitu Hammad.

Dahriy itu berkata kepada Khalifah: "hadirkanlah dia kesini, wahai Khalifah, agar dia bisa berdebat denganku". Khalifah lalu memanggil Hammad. Hammad menjawab; "Beri saya waktu semalam ini, wahai Khalifah".

Pagi hari datanglah Imam Abu Hanifah yang masih kecil untuk berbicara dengannya. Imam Abu Hanifah melihat gurunya, Hammad, sedang risau sekali. Abu Hanifah bertanya; "Kenapa Engkau nampak risau, wahai guru?" Dia menjawab; "Bagaimana saya tidak risau, saya dipanggil Khalifah untuk berdebat dengan seorang Dahriy. Dia sudah membungkam semua ulama yang ada dan semalam saya bermimpi yang tidak baik." Abu Hanifah bertanya, "Apa mimpimu, wahai guru?"

Hammad bercerita, "Saya bermimpi, saya melihat ada sebuah rumah yang sangat luas dan dihiasi indah sekali. Di dalamnya ada sebuah pohon besar. Dari salah satu tiangnya keluar seekor babi. Lalu babi itu memakan semua buah, daun, dan dahan kayu sampai habis, kecuali akarnya. Kemudian dari akarnya keluar seekor singa lalu membunuh babi itu."

Abu Hanifah menanggapi, "Sungguh Allah telah mengajarkanku ilmu takwil mimpi; mimpi ini baik untuk kita dan buruk untuk musuh-musuh kita. Jika engkau mengizinkanku untuk menjelaskan maksudnya, aku akan menjelaskannya". Hammad lalu meminta Abu Hanifah untuk menjelaskannya, "Jelaskanlah, wahai Abu Hanifah."

Abu Hanifah lalu menjelaskan, "Rumah yang sangat luas yang dihias indah sekali itu maksudnya adalah negeri tempat hidup umat islam ini. Pohon yang berbuah maksudnya para ulama. Akar yang tersisa itu maksudnya adalah Engkau, wahai guru. Babi itu adalah si Dahriy. Dan singa yang menghancurkannya itu adalah aku. Aku akan berangkat bersamamu. Dengan berkah kegelisahan dan kehadiranmu, aku akan berdebat dengannya dan mengalahkannya." Kata Abu Hanifah. Hammad nampak bahagia.

Mereka berdua langsung berangkat ke masjid Jami'. Khalifah lalu datang ke masjid Jami'. Orang-orangpun berkumpul menghadiri majelis Hammad di masjid itu dan Imam Abu Hanifah berdiri di bawah kursi kehormatannya; membawakan sepatu gurunya dan sepatunya.

Dahriy lalu hadir ke majelis itu dan langsung naik ke atas mimbar. Dia menantang, "siapa yang akan menjawab pertanyaanku?" Imam Abu Hanifah berkomentar, "Tantangan seperti apa ini; tanya saja apa yang hendak Engkau tanyakan; orang yang tahu akan menjawab pertanyaanmu". Dahriy lalu menjawab: "Eh, siapa kamu, wahai anak kecil? Beraninya kamu berdebat denganku. Sudah banyak orang-orang tua, orang-orang yang memakai sorban besar, orang-orang berpakaian kebesaran, dan berlengan lebar tidak mampu mengalahkanku. Apalagi kamu yang kecil dan hina ini."

Abu Hanifah menjawab: "Allah tidak menjadikan kemuliaan dan ketinggian derajat dengan sorban yang besar, baju kebesaran, dan lengan baju yang lebar, tetapi Dia jadikan kemuliaan ada pada diri ulama."

Dahriy lalu mendesak, "Apakah kamu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku?" Abu Hanifah menjawab: "Iya, dengan taufiq dari Allah". Dahriy bertanya, "Apakah Allah ada?" Abu Hanifah menjawab: "Iya." Dahriy bertanya lagi, "Dimana Dia?" Abu Hanifah menjawab: "Dia tidak bertempat." Dahriy bertanya balik, "Bagaimana mungkin Dia ada tanpa tempat!"

Abu Hanifah menjawab: "Jawaban ini ada dalilnya pada dirimu." Dahriy bertanya, "Apa itu?" Abu Hanifah bertanya balik, "Di dalam badanmu apakah ada ruh?" Dia menjawab: "Iya." Abu Hanifah bertanya lagi, "Dimana letaknya; di kepalamu, di perutmu, atau di kakimu?" Dahriy terdiam.

Abu Hanifah lalu meminta segelas susu. "Apakah di dalam susu ini ada protein?" Dahriy menjawab: "Iya." Abu Hanifah bertanya lagi, "Dimana letak proteinnya; di bagian atasnya atau di bagian bawahnya?" Dahriy terdiam lagi. Abu Hanifah lalu menjelaskan, "Sebagaimana tidak diketahui letak ruh di dalam badan dan tidak diketahui letak protein di dalam susu, begitu juga tidak ada tempat tertentu bagi Allah di alam jagat raya ini."

Dahriy lanjut bertanya, "Apa yang wujud sebelum Allah dan setelahNya?" Abu Hanifah menjawab: "Tidak ada sesuatu apapun yang wujud sebelum Allah dan sesudahNya." Dahriy membantah, "Tidak terbayang, bagaimana mungkin ada yang wujud tetapi tidak ada sesuatu sebelum wujudnya dan setelahnya!" Abu Hanifah menjawab: "Jawaban ini ada dalilnya pada badanmu juga." Dahriy bertanya, "Apa itu?" Abu Hanifah menjawab: "Apa yang ada sebelum ibu jarimu dan apa yang ada setelah jari kelingkingmu?" Dia menjawab: "Tidak ada apapun sebelum ibu jariku dan setelah jari kelingkingku". Abu Hanifah menjawab: "Begitu juga dengan Allah, tidak ada sesuatu apapun yang wujud sebelum dan sesudahNya."

Dahriy melanjutkan, "Masih tersisa satu pertanyaan lagi". Abu Hanifah menjawab: "Akan aku jawab insya Allah." Dia bertanya: "Apa pekerjaan Allah sekarang?" Abu Hanifah menjawab: "Engkau sudah membalikkan keadaan; semestinya orang yang menjwab pertanyaan berada di atas mimbar dan yang bertanya berada di bawah. Saya akan jawab pertanyaanmu, jika Engkau telah turun".

Dia turun dan Abu Hanifah naik ke atas mimbar. Ketika Abu Hanifah duduk diatasnya, dia ulang bertanya dan Abu hanifah menjawab; "Pekerjaan Allah sekarang adalah menumbangkan kebatilan seperti dirimu dari atas ke bawah dan menaikkan yang hak seperti diriku dari bawah ke atas.

Perdebatan selesai, Dahriy hanya bisa terdiam dengan jawaban-jawaban logis Imam Abu Hanifah dan mengaku kalah.
* * *

Diterjemahkan oleh Alnof Dinar dari kitab _Fath al-Majid Syarh al-Durr al-Farid Fi 'Aqaid Ahli al-Tauhid_, karya Imam Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Syafi'i, cetakan Penerbit Toha Putra Semarang, tanpa tahun, halaman 7.

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post