Bab ini harus kita bicarakan ketika akan membahas tentang perkara yang bid'ah dan perkara yang bukan bid'ah.
Sejumlah orang melihat banyak perkara yang sebenarnya al maslahat al mursalah dianggap sebagai bid'ah. Anehnya, mereka menisbatkannya kepada para sahabat dan tabi'in, kemudian menjadikannya sebagai hujjah untuk dijadikan dasar dalam membuat-buat ibadah.
Ada juga yang berpendapat bahwa bid'ah terbagi ke dalam lima hukum, seperti hukum syariat. Jadi, ada yang wajib dan ada yang sunah. Penulisan mushaf dan yang semisalnya mereka anggap sebagai bid'ah wajib, sedangkan qiyam Ramadhan dengan cara berjamaah oleh satu imam mereka anggap sebagai bid'ah sunah.
Selain itu, maslahah mursalah maknanya kembali pada i'tibar terhadap munasabah yang tidak didukung oleh dasar pokok tertentu. Jadi, tidak ada syahid (penguat) syar'i secara khusus, dan bukan sebagai munasub (yang punya pertalian), yang apabila ditawarkan pada akal maka akan bisa diterima. Keadaan seperti ini juga ada dalam bid'ah mustahsanah (yang dianggap baik), yang sesungguhnya kembali kepada perkara-perkara dalam agama yang bersifat maslahat —menurut prasangka para pembuatnya— di dalam syariat secara khusus.
Jika ketetapannya seperti itu, maka bila i'tibar al maslahat al mursalah adalah benar, maka i'tibar bid'ah mustahsanah seharusnya juga benar, sebab keduanya berada dalam satu lembah. Jika i'tibar bid'ah itu tidak benar, maka i'tibar al masalahat al mursalah juga tidak benar.
Pendapat akan keberadaan al maslahat al mursalah sendiri bukanlah sesuatu yang disepakati, bahkan ahli ushul berbeda dalam empat pendapat:
1. Al Qadhi dan sekelompok ahli ushul menolaknya. Makna al maslahah al mursalah tidak dianggap selama bersandar pada sebuah dasar pokok atau asal.
2. Malik menganggap ada i'tibar terhadap al maslahah al mursalah, dan ia banyak menentukan hukum berdasarkan al maslahat al mursalah secara mutlak.
3. Asy-Syafi'i dan sebagian besar Hanafiah berpegang kepada makna yang tidak berdasarkan pada sebuah dasar pokok yang shahih, dengan syarat makna tersebut dekat dengan makna-makna ushul yang sudah kukuh. Inilah yang diceritakan oleh Al Juwaini.
4. Al Ghazali berpendapat bahwa bila munasib (pertalian) berada dalam tingkatan tahsin (membaikkan) dan tazyin (memperindah), maka ia tidak dianggap, sampai ada syahid (penguat) dari dasar pokok tertentu. Jika berada dalam tingkatan dharury (kebutuhan), maka ia lebih cenderung untuk menerimanya dengan syarat.
Dalam tingkatan pertengahan, antara tahsin dengan dharury, pendapat Al Ghazali tidak tetap. Dalam buku Syifa' Al 'Alil ia menerimanya, tetapi dalam buku Al Mustashfa ia menolaknya, dan inilah pendapat yang terakhir dari dua pendapatnya. Jika pendapat Al Ghazali yang tidak tetap ini kita anggap juga, berarti ada lima pendapat. Jika demikian, maka orang yang menolak untuk mengambil i'tibar tidak mempunyai dasar dalam melihat beberapa kejadian para sahabat, kecuali sebagai bid'ah mustahsanah, yang dikatakan oleh Umar RA dalam masalah jamaah shalat tarawih bulan Ramadhan, "Ini adalah sebaikbaik bid'ah." Mereka tidak mungkin menolak kata-kata Umar ini, sebab mereka sepakat adanya perkataan Umar ini. Demikian juga dalam masalah istihsan, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu, bahwa istihsan adalah hukum tanpa dalil. Orang yang menafikan istihsan tidak menganggapnya sebagai sebab, sehingga tidak menganggapnya sama sekali dalam masalah hukum, tapi akan sama sepcrti al maslahah al mursalah jika ada yang menolaknya. Permasalahan ini adalah posisi terpelesetnya ahli bid'ah, karena mereka menganggapnya sebagai dalil dan bid'ah mereka. Oleh karena itu, sikap benar yang harus kulakukan di sini adalah melihat kesalahan yang terjadi pada mereka, sehingga nantinya menjadi jelas bahwa al maslahah al mursalah sama sekali bukan termasuk bid'ah.
Kami katakan bahwa makna yang munasib, dimana hukum diikat padanya, tidak lepas dari tiga bagian:
1. Syariat mempersaksikan (menguatkan) bahwa munasib itu diterima. Di sini tidak ada permasalahan dengan ke-shahih-annya dan tidak ada perbedaan dalam memberlakukannya. Jika tidak disikapi demikian maka justru melawan syariat, seperti syariat qishas untuk menjaga jiwa, anggota badan, dan lain-lain.
2. Makna munasib yang tertolak menurut persaksian syariat. Di sini tidak ada jalan untuk menerimanya, sebab munasabah tidak mengharuskan (menghasilkan) adanya hukum dengan dirinya sendiri, bukan seperti yang dipakai oleh madzhab ahlutt-tahsinul aql(menganggap baik secara logika akal). Semestinya jika maknanya sudah nampak secara zhahir dan kita memahami bahwa syariat mengambilnya sebagai I’tibar yang mengharuskan adanya hukum, maka pada saat itu kita menerimanya. Karena, dalam pandangan kami al maslahah al mursalah adalah sesuatu yang memang dikehendaki untuk ada, dijaga demi kepentingan makhluk dalam mendatangkan maslahat dan menolak mafsadah dalam bentuk yang tidak bisa dipahami oleh akal sendirian saja.
Jadi, kalau syariat tidak memberikan kesaksian (penguat) untuk mengambil i'tibar dari makna sesuatu tadi, bahkan menolaknya, maka sesuatu itu akan tertolak dengan kesepakatan kaum muslim.
Contohnya adalah kisah yang diceritakan oleh Al Ghazali tentang sebagian pembesar ulama, bahwa ia menemui salah seorang sultan (yang saat itu berkuasa), lalu sultan itu bertanya kepadanya tentang bercampur pada siang hari saat bulan Ramadhan. Ia menjawab, "Anda harus puasa dua bulan berturut-turut." Ketika ia keluar, ada sebagian ahli fikih yang mengikutinya untuk menanyakan kembali pendapatnya. Mereka berkata, "Orang yang mampu membebaskan budak, bagaimana mungkin harus berpindah kepada denda puasa, padahal puasa adalah pekerjaan orang yang sulit (kehidupannya), sedangkan sultan memiliki budak yang tidak terhitung jumlahnya." Ulama tadi kemudian berkata kepada mereka, "Kalau aku katakan kepadanya, 'Engkau wajib membebaskan budak,' maka ia akan menganggap remeh hal itu dan ia akan membebaskan budak terus-menerus. Denda membebaskan budak tidak akan membuatnya jera, tapi ia akan jera dengan puasa dua bulan berturut-turut."
Makna ini adalah munasib, sebab tujuan kafarat (syar'i) adalah membuat seseorang jera, sedangkan penguasa seperti sultan tersebut tidak akan jera dengan denda membebaskan budak (karena ia mempunyai banyak budak), namun ia akan jera dengan denda puasa dua bulan berturut-turut.
Fatwa ini salah, sebab para ulama berada di antara dua pendapat, yaitu takhyir (memilih) atau tartib (harus urut) dalam masalah denda. Jika urut maka yang harus didahulukan adalah membebaskan budak. Jadi, mendahulukan puasa untuk orang yang kaya tidak bisa dikatakan seperti itu.
Tetapi Malik melakukan hal yang serupa dengan ini, namun yang dilakukannya benar-benar sharih (jelas) masalah fikih.
Yahya bin Bukair menceritakan bahwa Harun Ar-Rasyid melanggar sumpah, maka ia mengumpulkan para ulama (untuk menanyakan kafarat yang harus ditebusnya). Mereka lalu sepakat bahwa ia harus membebaskan budak. Harun Ar-Rasyid kemudian bertanya kepada Malik (tentang hal tcrsebut), ia menjawab, "Puasa tiga hari." Pendapatnya ini diikuti oleh Ishaq bin Ibrahim, salah satu ahli fikih Cardova.
Ibnu Baskwal menceritakan bahwa Hakam Amirul Mukminin mengutus seseorang kepada para ahli fikih untuk bermusyawarah dengan mereka tentang suatu masalah yang menimpanya. Amirul Mukminin mengatakan bahwa dirinya telah sengaja mencampuri salah seorang istrinya32 pada siang hari bulan Ramadhan. Para ahli fikih lalu memberikan fatwa untuk memberi makan (orang miskin). Tetapi saat itu Ishaq bin Ibrahim diam saja, maka Amirul Mukminin bertanya, "Apakah pendapat syaikh (Ishaq bin Ibrahim) tentang fatwa sahabatsahabatnya?" Ishaq menjawab, "Aku tidak sependapat dengan mereka, menurutku engkau harus berpuasa." Ada yang menimpali, "Bukankah madzhab Maliki menyatakan untuk memberi makan (orang miskin)?" Ishaq menjawab, "Kalian menghafal madzhab Maliki, —tidaklah demikian— sebab kalian hanya ingin mencari muka di hadapan Amirul Mukminin.
" Ia berkata lagi, "Malik memerintahkan untuk memberi makan bagi orang yang punya harta, sedangkan Amirul Mukminin tidak punya harta, dan yang ada padanya adalah baitul Mai kaum muslim." Saat itu Amirul Mukminin justru mengambil pendapat Ishaq bin Ibrahim, dan mengucapkan rasa terima kasih kepadanya. Hadits ini shahih.
Ibnu Baskwal menceritakan bahwa terjadi kesepakatan seperti ini dengan Abdurrahman bin Hakam pada bulan Ramadhan, ia bertanya kepada para ahli fikih mengenai tobatnya dan pembayaran kafaratnya, maka Yahya bin Yahya berkata, "Kafaratnya adalah puasa dua bulan berturut-turut." Ketika ucapan itu kduar dari lisan Yahya, seluruh ahli fikih terdiam, sampai mereka keluar dari amir. Mereka kemudian bertanya kepada Yahya, "Kenapa engkau tidak memberikan fatwa dengan madzhab kita dari Malik, bahwa dibolehkan memilih antara membebaskan budak, memberi makan, atau berpuasa?" Yahya menjawab, "Jika kita buka pintu ini untuknya, maka akan sangat mudah baginya untuk bercampur setiap hari dengan kafarat membebaskan budak. Aku berikan dia perkara yang paling susah, supaya beliau tidak mengulangi perbuatannya tersebut.
" Jika hal ini shahih berasal dari Yahya bin Yahya —rahimahullahu— dan kata-katanya seperti yang nampak di sini, berarti ia telah menyelisihi ijma'.
3. Yang didiamkan oleh syahid-syahid (penguat-penguat) yang khusus. Tidak menguatkan i’tibar terhadapnya dan meniadakannya. Ada dua bentuk di sini:
Bentuk pertama: Tidak disebutkan nash yang menyepakati makna itu, seperti ta‘lil (alasan) dilarangnya membunuh untuk mendapatkan warisan, perlakuan yang ada berlawanan dengan maksud, jika kita andaikan tidak ada nash yang tersebut secara cocok, maka alasan ini tidak ada dalam pengaturan syariat, baik dengan fardh maupun dengan mula’amah, untuk mendapatkan jenis yang bisa dianggap. Jadi, tidak dibenarkan untuk menggunakannya sebagai ta’lil, dan juga tidak bisa membangun hukum di atasnya. Yang seperti ini adalah tasyri' dari orang yang mengatakannya, maka tidak mungkin dapat diterima.
Bentuk kedua: Sesuai dengan tindakan atau pengaturan syariat, yaitu ada suatu jenis yang di-i'tibari oleh syariat secara umum terhadap makna itu tanpa ada dalil tertentu. Inilah istidlal yang mursal, yang disebut dengan al maslahat al mursalah.
_______________________________
32. Istrinya yang berstatus merdeka dan terhormat, bukan anak perempuannya sebagaimana bahasa yang dipakai di zaman kita.
Al Ithisham - Imam Asy-Syatibi
Sejumlah orang melihat banyak perkara yang sebenarnya al maslahat al mursalah dianggap sebagai bid'ah. Anehnya, mereka menisbatkannya kepada para sahabat dan tabi'in, kemudian menjadikannya sebagai hujjah untuk dijadikan dasar dalam membuat-buat ibadah.
Ada juga yang berpendapat bahwa bid'ah terbagi ke dalam lima hukum, seperti hukum syariat. Jadi, ada yang wajib dan ada yang sunah. Penulisan mushaf dan yang semisalnya mereka anggap sebagai bid'ah wajib, sedangkan qiyam Ramadhan dengan cara berjamaah oleh satu imam mereka anggap sebagai bid'ah sunah.
Selain itu, maslahah mursalah maknanya kembali pada i'tibar terhadap munasabah yang tidak didukung oleh dasar pokok tertentu. Jadi, tidak ada syahid (penguat) syar'i secara khusus, dan bukan sebagai munasub (yang punya pertalian), yang apabila ditawarkan pada akal maka akan bisa diterima. Keadaan seperti ini juga ada dalam bid'ah mustahsanah (yang dianggap baik), yang sesungguhnya kembali kepada perkara-perkara dalam agama yang bersifat maslahat —menurut prasangka para pembuatnya— di dalam syariat secara khusus.
Jika ketetapannya seperti itu, maka bila i'tibar al maslahat al mursalah adalah benar, maka i'tibar bid'ah mustahsanah seharusnya juga benar, sebab keduanya berada dalam satu lembah. Jika i'tibar bid'ah itu tidak benar, maka i'tibar al masalahat al mursalah juga tidak benar.
Pendapat akan keberadaan al maslahat al mursalah sendiri bukanlah sesuatu yang disepakati, bahkan ahli ushul berbeda dalam empat pendapat:
1. Al Qadhi dan sekelompok ahli ushul menolaknya. Makna al maslahah al mursalah tidak dianggap selama bersandar pada sebuah dasar pokok atau asal.
2. Malik menganggap ada i'tibar terhadap al maslahah al mursalah, dan ia banyak menentukan hukum berdasarkan al maslahat al mursalah secara mutlak.
3. Asy-Syafi'i dan sebagian besar Hanafiah berpegang kepada makna yang tidak berdasarkan pada sebuah dasar pokok yang shahih, dengan syarat makna tersebut dekat dengan makna-makna ushul yang sudah kukuh. Inilah yang diceritakan oleh Al Juwaini.
4. Al Ghazali berpendapat bahwa bila munasib (pertalian) berada dalam tingkatan tahsin (membaikkan) dan tazyin (memperindah), maka ia tidak dianggap, sampai ada syahid (penguat) dari dasar pokok tertentu. Jika berada dalam tingkatan dharury (kebutuhan), maka ia lebih cenderung untuk menerimanya dengan syarat.
Dalam tingkatan pertengahan, antara tahsin dengan dharury, pendapat Al Ghazali tidak tetap. Dalam buku Syifa' Al 'Alil ia menerimanya, tetapi dalam buku Al Mustashfa ia menolaknya, dan inilah pendapat yang terakhir dari dua pendapatnya. Jika pendapat Al Ghazali yang tidak tetap ini kita anggap juga, berarti ada lima pendapat. Jika demikian, maka orang yang menolak untuk mengambil i'tibar tidak mempunyai dasar dalam melihat beberapa kejadian para sahabat, kecuali sebagai bid'ah mustahsanah, yang dikatakan oleh Umar RA dalam masalah jamaah shalat tarawih bulan Ramadhan, "Ini adalah sebaikbaik bid'ah." Mereka tidak mungkin menolak kata-kata Umar ini, sebab mereka sepakat adanya perkataan Umar ini. Demikian juga dalam masalah istihsan, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu, bahwa istihsan adalah hukum tanpa dalil. Orang yang menafikan istihsan tidak menganggapnya sebagai sebab, sehingga tidak menganggapnya sama sekali dalam masalah hukum, tapi akan sama sepcrti al maslahah al mursalah jika ada yang menolaknya. Permasalahan ini adalah posisi terpelesetnya ahli bid'ah, karena mereka menganggapnya sebagai dalil dan bid'ah mereka. Oleh karena itu, sikap benar yang harus kulakukan di sini adalah melihat kesalahan yang terjadi pada mereka, sehingga nantinya menjadi jelas bahwa al maslahah al mursalah sama sekali bukan termasuk bid'ah.
Kami katakan bahwa makna yang munasib, dimana hukum diikat padanya, tidak lepas dari tiga bagian:
1. Syariat mempersaksikan (menguatkan) bahwa munasib itu diterima. Di sini tidak ada permasalahan dengan ke-shahih-annya dan tidak ada perbedaan dalam memberlakukannya. Jika tidak disikapi demikian maka justru melawan syariat, seperti syariat qishas untuk menjaga jiwa, anggota badan, dan lain-lain.
2. Makna munasib yang tertolak menurut persaksian syariat. Di sini tidak ada jalan untuk menerimanya, sebab munasabah tidak mengharuskan (menghasilkan) adanya hukum dengan dirinya sendiri, bukan seperti yang dipakai oleh madzhab ahlutt-tahsinul aql(menganggap baik secara logika akal). Semestinya jika maknanya sudah nampak secara zhahir dan kita memahami bahwa syariat mengambilnya sebagai I’tibar yang mengharuskan adanya hukum, maka pada saat itu kita menerimanya. Karena, dalam pandangan kami al maslahah al mursalah adalah sesuatu yang memang dikehendaki untuk ada, dijaga demi kepentingan makhluk dalam mendatangkan maslahat dan menolak mafsadah dalam bentuk yang tidak bisa dipahami oleh akal sendirian saja.
Jadi, kalau syariat tidak memberikan kesaksian (penguat) untuk mengambil i'tibar dari makna sesuatu tadi, bahkan menolaknya, maka sesuatu itu akan tertolak dengan kesepakatan kaum muslim.
Contohnya adalah kisah yang diceritakan oleh Al Ghazali tentang sebagian pembesar ulama, bahwa ia menemui salah seorang sultan (yang saat itu berkuasa), lalu sultan itu bertanya kepadanya tentang bercampur pada siang hari saat bulan Ramadhan. Ia menjawab, "Anda harus puasa dua bulan berturut-turut." Ketika ia keluar, ada sebagian ahli fikih yang mengikutinya untuk menanyakan kembali pendapatnya. Mereka berkata, "Orang yang mampu membebaskan budak, bagaimana mungkin harus berpindah kepada denda puasa, padahal puasa adalah pekerjaan orang yang sulit (kehidupannya), sedangkan sultan memiliki budak yang tidak terhitung jumlahnya." Ulama tadi kemudian berkata kepada mereka, "Kalau aku katakan kepadanya, 'Engkau wajib membebaskan budak,' maka ia akan menganggap remeh hal itu dan ia akan membebaskan budak terus-menerus. Denda membebaskan budak tidak akan membuatnya jera, tapi ia akan jera dengan puasa dua bulan berturut-turut."
Makna ini adalah munasib, sebab tujuan kafarat (syar'i) adalah membuat seseorang jera, sedangkan penguasa seperti sultan tersebut tidak akan jera dengan denda membebaskan budak (karena ia mempunyai banyak budak), namun ia akan jera dengan denda puasa dua bulan berturut-turut.
Fatwa ini salah, sebab para ulama berada di antara dua pendapat, yaitu takhyir (memilih) atau tartib (harus urut) dalam masalah denda. Jika urut maka yang harus didahulukan adalah membebaskan budak. Jadi, mendahulukan puasa untuk orang yang kaya tidak bisa dikatakan seperti itu.
Tetapi Malik melakukan hal yang serupa dengan ini, namun yang dilakukannya benar-benar sharih (jelas) masalah fikih.
Yahya bin Bukair menceritakan bahwa Harun Ar-Rasyid melanggar sumpah, maka ia mengumpulkan para ulama (untuk menanyakan kafarat yang harus ditebusnya). Mereka lalu sepakat bahwa ia harus membebaskan budak. Harun Ar-Rasyid kemudian bertanya kepada Malik (tentang hal tcrsebut), ia menjawab, "Puasa tiga hari." Pendapatnya ini diikuti oleh Ishaq bin Ibrahim, salah satu ahli fikih Cardova.
Ibnu Baskwal menceritakan bahwa Hakam Amirul Mukminin mengutus seseorang kepada para ahli fikih untuk bermusyawarah dengan mereka tentang suatu masalah yang menimpanya. Amirul Mukminin mengatakan bahwa dirinya telah sengaja mencampuri salah seorang istrinya32 pada siang hari bulan Ramadhan. Para ahli fikih lalu memberikan fatwa untuk memberi makan (orang miskin). Tetapi saat itu Ishaq bin Ibrahim diam saja, maka Amirul Mukminin bertanya, "Apakah pendapat syaikh (Ishaq bin Ibrahim) tentang fatwa sahabatsahabatnya?" Ishaq menjawab, "Aku tidak sependapat dengan mereka, menurutku engkau harus berpuasa." Ada yang menimpali, "Bukankah madzhab Maliki menyatakan untuk memberi makan (orang miskin)?" Ishaq menjawab, "Kalian menghafal madzhab Maliki, —tidaklah demikian— sebab kalian hanya ingin mencari muka di hadapan Amirul Mukminin.
" Ia berkata lagi, "Malik memerintahkan untuk memberi makan bagi orang yang punya harta, sedangkan Amirul Mukminin tidak punya harta, dan yang ada padanya adalah baitul Mai kaum muslim." Saat itu Amirul Mukminin justru mengambil pendapat Ishaq bin Ibrahim, dan mengucapkan rasa terima kasih kepadanya. Hadits ini shahih.
Ibnu Baskwal menceritakan bahwa terjadi kesepakatan seperti ini dengan Abdurrahman bin Hakam pada bulan Ramadhan, ia bertanya kepada para ahli fikih mengenai tobatnya dan pembayaran kafaratnya, maka Yahya bin Yahya berkata, "Kafaratnya adalah puasa dua bulan berturut-turut." Ketika ucapan itu kduar dari lisan Yahya, seluruh ahli fikih terdiam, sampai mereka keluar dari amir. Mereka kemudian bertanya kepada Yahya, "Kenapa engkau tidak memberikan fatwa dengan madzhab kita dari Malik, bahwa dibolehkan memilih antara membebaskan budak, memberi makan, atau berpuasa?" Yahya menjawab, "Jika kita buka pintu ini untuknya, maka akan sangat mudah baginya untuk bercampur setiap hari dengan kafarat membebaskan budak. Aku berikan dia perkara yang paling susah, supaya beliau tidak mengulangi perbuatannya tersebut.
" Jika hal ini shahih berasal dari Yahya bin Yahya —rahimahullahu— dan kata-katanya seperti yang nampak di sini, berarti ia telah menyelisihi ijma'.
3. Yang didiamkan oleh syahid-syahid (penguat-penguat) yang khusus. Tidak menguatkan i’tibar terhadapnya dan meniadakannya. Ada dua bentuk di sini:
Bentuk pertama: Tidak disebutkan nash yang menyepakati makna itu, seperti ta‘lil (alasan) dilarangnya membunuh untuk mendapatkan warisan, perlakuan yang ada berlawanan dengan maksud, jika kita andaikan tidak ada nash yang tersebut secara cocok, maka alasan ini tidak ada dalam pengaturan syariat, baik dengan fardh maupun dengan mula’amah, untuk mendapatkan jenis yang bisa dianggap. Jadi, tidak dibenarkan untuk menggunakannya sebagai ta’lil, dan juga tidak bisa membangun hukum di atasnya. Yang seperti ini adalah tasyri' dari orang yang mengatakannya, maka tidak mungkin dapat diterima.
Bentuk kedua: Sesuai dengan tindakan atau pengaturan syariat, yaitu ada suatu jenis yang di-i'tibari oleh syariat secara umum terhadap makna itu tanpa ada dalil tertentu. Inilah istidlal yang mursal, yang disebut dengan al maslahat al mursalah.
_______________________________
32. Istrinya yang berstatus merdeka dan terhormat, bukan anak perempuannya sebagaimana bahasa yang dipakai di zaman kita.
Al Ithisham - Imam Asy-Syatibi
Post a Comment