Al-A’mash mengatakan;
مَنْ كَانَ رَأْسُ مَالِهِ التَّقْوَى كَلَّتِ الْأَلْسَنُ عَنْ وَصْفِ رِبْحِ دِيْنِهِ وَمَنْ كَانَ رَأْسُ مَالِهِ الدُّنْيَا كَلَّتِ الْأَلْسَنُ عَنْ وَصْفِ خُسْرَانِ دِيْنِهِ
Barangsiapa yang modal (hidup)nya adalah taqwa maka lisan tidak kuasa untuk menyebutkan keberuntungannya, dan barangsiapa yang modal hidupnya adalah (harta) dunia maka lidahpun tak kuasa menyebutkan kerugiannya dalam beragama
Biografi Singkat Al-A’mash:
Nama Asli beliau adalah Sulaiman bin Al-Mihran Al-Kufi, dipanggil Al-A’mash karena ia menderita rabun kuat. Beliau diberi gelar oleh para Ulama dengan bermacam gelar, ada yang menyebutnya Sayyidul Muhadditsin, tentu saja tidak ada yang meragukan ke-tsiqahannya.
Secara keilmuan Al-A’mash unggul dalam banyak disiplin ilmu, seperti Al-Qur’an dan Hadis, Tercatat ia meriwayatkan setidaknya 1300 hadis dengan sanad yang lengkap. Oleh karena itu, ia disebut Mushaf Karena kuatnya hafalan beliau.
Disebutkan bahwa Al-A’mash selalu menjaga shalat berjama’ah dan selalu berada di shaf pertama, bahkan Waki’ bin Al-Jarrah mengatakan; Al-A’masy mendekati usia 70 tahun belum pernah ketinggalan raka’at pertama dalam berjama’ah.
Penjelasan Nasehat:
Nasehat Al-A’mash ini senada dengan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Sa’id Al-Khudri ketika ia meminta nasehat kepada sang baginda;
اُوْصِيْكُمْ بِـتَقْوَ اللهِ فَإِنَّهُ رَأْسُ كُلِّ شَيءٍ
Bertaqwalah kepada Allah, karena taqwa adalah modal untuk semua urusan.
Apa taqwa itu? Sayyiduna Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh Ubay masalah ini ia membuat analogi dalam bentuk pertanyaan;
هَلْ اَخَذْتَ طَرِيْقًا ذَا شَوْكٍ
Pernahkah kamu berjalan yang banyak durinya?
Ubay menjawab “iya”. Lalu Umar kembali bertanya;
فَمَا عَمَلْتَ فيْهِ؟
Apa yang kamu perbuat?
Ubay menjawab;
تَشَمَّرْتُ وَتَحَّذرْتُ
Aku akan jalan hati-hati
Lalu Umar mnegatakan “itulah takwa”
Cerita ini mendefenisikan makna takwa dalam versi Sayyiduna Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, dimana menurut Umar takwa itu adalah kehati-hatian dalam melakukan satu tindakan agar tidak terjebak pada sesuatu yang dilarang dalam agama.
Allah menjanjikan banyak hal dari ketaqwaan itu, di antaranya;
Kebahagiaan dan kesenangan hidup di dunia
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq: 2-3)
Dimudahkan segala urusan
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Ath-Thalaq: 4)
Kemuliaan
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujarat: 13)
Jaminan bahagia di akhirat
- إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ
Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. (Al-Qalam: 34)
Melalui ayat-ayat ini cukup bagi kita untuk menyadari bahwa Allah hanya mensyaratkan taqwa untuk memudahkan segara urusan makhluknya, karena segala kebutuhan mereka dan kenikmatan ada dalam kuasa-Nya. Ia mampu memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki dan tidak memberikan apapun kepada yang tidak ia kehendaki.
Adapun sebaliknya orang yang membanggakan modal duniawi, bersifat materi, jabatan atau status social sebagai modal hidup maka yang ia dapatkan hanya kerugian, karena pada hakikatnya bukan materi yang membahagiakan orang melainkan kehendak Allah subhahanu wa ta’ala
________________
Ditulis Oleh: Ustadz Muhammad Hanafi, LC,. M.Sy
Bab Ats-Tsuna’i, Maqalah ke 8
Nasehat:
مَنْ كَانَ رَأْسُ مَالِهِ التَّقْوَى كَلَّتِ الْأَلْسَنُ عَنْ وَصْفِ رِبْحِ دِيْنِهِ وَمَنْ كَانَ رَأْسُ مَالِهِ الدُّنْيَا كَلَّتِ الْأَلْسَنُ عَنْ وَصْفِ خُسْرَانِ دِيْنِهِ
Barangsiapa yang modal (hidup)nya adalah taqwa maka lisan tidak kuasa untuk menyebutkan keberuntungannya, dan barangsiapa yang modal hidupnya adalah (harta) dunia maka lidahpun tak kuasa menyebutkan kerugiannya dalam beragama
Biografi Singkat Al-A’mash:
Nama Asli beliau adalah Sulaiman bin Al-Mihran Al-Kufi, dipanggil Al-A’mash karena ia menderita rabun kuat. Beliau diberi gelar oleh para Ulama dengan bermacam gelar, ada yang menyebutnya Sayyidul Muhadditsin, tentu saja tidak ada yang meragukan ke-tsiqahannya.
Secara keilmuan Al-A’mash unggul dalam banyak disiplin ilmu, seperti Al-Qur’an dan Hadis, Tercatat ia meriwayatkan setidaknya 1300 hadis dengan sanad yang lengkap. Oleh karena itu, ia disebut Mushaf Karena kuatnya hafalan beliau.
Disebutkan bahwa Al-A’mash selalu menjaga shalat berjama’ah dan selalu berada di shaf pertama, bahkan Waki’ bin Al-Jarrah mengatakan; Al-A’masy mendekati usia 70 tahun belum pernah ketinggalan raka’at pertama dalam berjama’ah.
Penjelasan Nasehat:
Nasehat Al-A’mash ini senada dengan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Sa’id Al-Khudri ketika ia meminta nasehat kepada sang baginda;
اُوْصِيْكُمْ بِـتَقْوَ اللهِ فَإِنَّهُ رَأْسُ كُلِّ شَيءٍ
Bertaqwalah kepada Allah, karena taqwa adalah modal untuk semua urusan.
Apa taqwa itu? Sayyiduna Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh Ubay masalah ini ia membuat analogi dalam bentuk pertanyaan;
هَلْ اَخَذْتَ طَرِيْقًا ذَا شَوْكٍ
Pernahkah kamu berjalan yang banyak durinya?
Ubay menjawab “iya”. Lalu Umar kembali bertanya;
فَمَا عَمَلْتَ فيْهِ؟
Apa yang kamu perbuat?
Ubay menjawab;
تَشَمَّرْتُ وَتَحَّذرْتُ
Aku akan jalan hati-hati
Lalu Umar mnegatakan “itulah takwa”
Cerita ini mendefenisikan makna takwa dalam versi Sayyiduna Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, dimana menurut Umar takwa itu adalah kehati-hatian dalam melakukan satu tindakan agar tidak terjebak pada sesuatu yang dilarang dalam agama.
Allah menjanjikan banyak hal dari ketaqwaan itu, di antaranya;
Kebahagiaan dan kesenangan hidup di dunia
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq: 2-3)
Dimudahkan segala urusan
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Ath-Thalaq: 4)
Kemuliaan
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujarat: 13)
Jaminan bahagia di akhirat
- إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ
Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. (Al-Qalam: 34)
Melalui ayat-ayat ini cukup bagi kita untuk menyadari bahwa Allah hanya mensyaratkan taqwa untuk memudahkan segara urusan makhluknya, karena segala kebutuhan mereka dan kenikmatan ada dalam kuasa-Nya. Ia mampu memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki dan tidak memberikan apapun kepada yang tidak ia kehendaki.
Adapun sebaliknya orang yang membanggakan modal duniawi, bersifat materi, jabatan atau status social sebagai modal hidup maka yang ia dapatkan hanya kerugian, karena pada hakikatnya bukan materi yang membahagiakan orang melainkan kehendak Allah subhahanu wa ta’ala
________________
Ditulis Oleh: Ustadz Muhammad Hanafi, LC,. M.Sy
Bab Ats-Tsuna’i, Maqalah ke 8
Nasehat:
Post a Comment