MENIKAH BUKAN UNTUK BERCERAI
[Untuk sahabatku nun jauh disana yg sedang berjuang melawan fitnah]
Abu Said Al bashriy bercerita suatu ketika sahabat Uqail bin Abi Thalib menikah dengan seorang wanita dari Bani Jasyim di Basrah, handai taulan dan kawan-kawan Uqail datang seraya mengucapkan Doa “Birrofaah Wal Baniin” yang artinya semoga perkawinanmu dilimpahi kesejahteraan dan anak keturunan. Salah seorang sahabat bernama Abu Zaid kemudian berkata: Janganlah kalian mengucapkan doa yang demikian, karena sesungguhnya Rasulullah SAW melarang yang demikian. Para sahabat bertanya: Lalu apa yang harus kami ucapkan, Abu Zaid Menjawab: Ucapkan Barakallahu Laka Wa Baaraka Alaika.
Common Sense kita kemudian bertanya, Apa salahnya kita mendoakan pasangan yang menikah agar dilimpahi kesejahteraan bersifat materil keduniaan dan anak Keturunan yang tentunya menjadi dambaan bagi pasangan yang menikah, Logika kita akan berujar its ok kok, bukankah doa itu boleh sepanjang mengandung kebaikan. Namun hikmah mendalam dalam kisah diatas dapat kita pahami dan sudah jamak kita dengar dalam nasihat-nasihat perkawinan yang disampaikan, bahwa makna mendalam doa tersebut adalah agar pernikahan senantiasa menjadi sebuah keberkahan [baca; bertambahnya kebaikan] baik dalam kondisi lapang-senang-bahagia maupun sempit-sedih-susah secara psikis dan psikologis yang mengiringi perjalanan perkawinan kedua mempelai. Sampai disini kita mafhum bahwa menikah bukan untuk bercerai tetapi ibadah yang menderaskan kepada pasangan kebaikan dalam kondisi apapun dan bagaimanapun.
Tetapi hidup bukanlah Drama Sinematography yang skenario dan jalan ceritanya kita bisa atur sesuka hati kita. Turbulensi hidup dan ombak menerjang tanpa kita tahu kapan dan pada titik mana dalam kehidupan rumah tangga kita. Ada yang memasuki tahun kedu, ada yang ke lima bahkan ada yang datang di usia perkawinan sudah mencapai puluhan tahun serta sudah mempunyai cucu, potensi ancaman itu selalu ada, pun tidak lepas dari semua orang tanpa memandang status sosial dan kegamaan. Jika kita membaca sejarah, ada beberapa sahabat Radiallahu Anhum yang juga tidak luput dari deraan ujian perkawinan dan harus berakhir dengan perceraian. Abdullah bin Umar harus menerima kenyataan pahit menceraikan istrinya ketika sudahtidak lagi ada pilihan terbaik, Biduk rumah tangga Zubair bin Awwam dengan Asma binti Abu Bakar kandas diterjang perceraian, Zaid Bin Haritsah harus menyerah dan menceraikan Zaynab binti Jahsy meski Rasulullah memintanya untuk bertahan, Nabiyullah Ismail pun diriwayatkan bercerai dengan istrinya bernama Amarah binti Sa`ad, Kurang sholih apalagi mereka para sahabat dan Sahabiyah ini jika dibanding kita pada zaman sekarang??. Pada titik ini kita memahami bahwa masalah rumah tangga berlaku bagi semua Hamba Allah yang menjalani perkawinan.
Tidak ada orang menikah dengan tujuan untuk bercerai atau menceraikan pasangannya dikemudian hari sebab hal itu nista dan dilarang Islam, Perkawinan harus dilandasi niat menjalani secara abadiy (selamanya) bukan tauqithi (temporal dan durasi tertentu) berdasar norma tersebut Islam melarang Nikah Mut`ah yang bersifat temporal. Tetapi untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, selalu ada pasangan yang harus menyerah dan tidak lagi mampu bertahan dalam rumah tangga yang dibangunnya yang mungkin secara ‘berdarah-darah”. Ia harus menyerah melakukan perbuatan yang tidak disukai Allah, bukan hal yang mudah dan sederhana !! berpisah dengan pasangan pada keumumamnnya selalu dilatarbelakagi dengan masalah yang sudah complicated dan akut. Sring kali saya menyampaikan bahwa bercerai adalah emergency exit yang harus ditempuh setelah tertutupnya jalan untuk bertahan. Bercerai harus bersifat membebaskan penderitaan, mencegah fitnah yang lebih besar serta kemudharatan yang timbul akan lebih besar jika bertahan dalam perkawinan tersebut. Itulah mengapa perceraian menjadi pilihan terakhir setelah upaya maksimal yag dilakukan pasangan dan keluarga untuk memperbaiki biduk rumah tangga yang menerpa sebagaimana diperintahkan dalam Firman-Nya dalam Surat Annisa ayat 35 .
Maka pada poin ini kita harus bisa bijak menilai dan menahan komentar atas saudara, kawan, kerabat dan terlebih orang yang tidak kita kenal, tahu dan paham tentang apa yang dialami dan dihadapi sehingg tidak mampu bertahan dan harus terpaksa memilih Baabu at-thawari` (baca: Pintu darurat) yang dinamakan Perceraian. Menikah bukan untuk bercerai, Arif dan bijaklah melihat mereka yang tidak bisa menghindari perceraian karena kita tidak tahu kapan dan pada titik mana potensi itu menghampiri kita. Semoga Allah senantiasa melimpahi sakinah mawaddah dan rahmah bagi perkawinan kita.
Untuk Renungan Pribadi
Mataram, Medio Desember 2019
Adi Irfan Jauhari
Post a Comment