Fitrah Pernikahan
Pernikahan itu bukan pengadilan yang didalamnya selalu dicari siapa yang salah dan siapa yang benar. Hukum fiqih kadang tidak dibutuhkan untuk mengarahkan teknis urusan rumah tangga: ia tidak dibutuhkan untuk menentukan besaran harga mahar, jatah belanja, jenis makanan, pakaian dan sebagainya. Kembalikan kepada 'urf, standar umum yang pantas dan kesanggupan yang bersangkutan. Kebutuhan terhadap hukum "yang tidak bisa tidak" adalah saat pengesahan ijab kabul atau pemisahan hubungan saat perceraian.
Kenapa demikian? Karena pernikahan adalah hubungan "rasa". Allah SWT menyebutnya sebagai hubungan yang dihiasi sakinah, mawaddah wa Rahmah. Semua itu adalah rasa. Ketika rasa yang tiga ini sudah tidak ada dan mereka atau salah satu dari mereka ingin lepas, maka itu adalah sesuatu yang lumrah. Dari pada mereka bertahan sedangkan rasa yang tiga sudah tidak ada. Saat itu dipastikan yang adalah rasa sebaliknya: rasa tertekan, terzalimi, dan sebagainya. Jika rasa negatif ini yang ada hubungan tersebut lebih mendekatkan ke penderitaan dan "neraka" dibandingkan kebahagiaan dan surga.
Oleh sebab itu, jangan pernah menghakimi dan selalu mencari yang benar dan salah dalam urusan rumah tangga. Ia akan rusak, karena bukan itu fitrahnya. Selain itu ia juga adalah ibadah kepada Allah SWT. Perlu juga jadi catatan kita bahwa yang Allah SWT kehendaki di dalam hubungan rumah tangga bukan seberapa besar bagian duniawi yang didapatkan seperti nafkah harta, anak dan sebagainya. Namun yang Dia lihat adalah seberapa besar "rasa" kasih sayang yang ada di dalamnya. Kadang seorang istri harus berjuang untuk ikut menanggung suaminya yang lumpuh, stroke dan sebagainya. Tidak usah engkau katakan ia sebagai suami yang tak bertanggung jawab karena tidak menafkahi istrinya. Kadang juga seorang suami dengan dengan sabar mengurus urusan anak, dapur dan sumur, selain kesibukannya mencari nafkah di luar rumah karena istrinya terbaring akibat penyakitnya. Jangan pula engkau hakimi istrinya sebagai istri yang tidak bertanggungjawab karena tidak memberikan hak suaminya. Tidak perlu engkau hakimi mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang menikmati indahnya rahmat Allah SWT dengan berkasih sayang. "Sayangilah yang ada di bumi, yang di langit akan menyayangi kalian," sabda Rasulullah SAW.
Namun jika ketiga rasa itu sudah tidak ada, meskipun engkau melihatnya sehat, kaya, tampan, cantik jelita, selama ini seperti bahagia, jangan engkau paksa mereka untuk selalu bersama. Kasihanilah mereka. Jangan sampai kebersamaan yang dipaksakan itu membuat mereka tidak mampu menegakkan hukum Allah SWT. Simaklah firmanNya: "Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan." (QS. Al-Baqarah: 230).
Sungguh, rasa itu tidak bisa dimunculkan begitu saja, tidak bisa dibayar dengan uang, digairahkan dengan kecantikan dan ketampanan atau dikekalkan dengan kemapanan. Bahkan keshalehan pun belum tentu dapat menumbuhkannya. Boleh jadi ia adalah rahasia Allah SWT yang berfirman:
"Barangkali Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Mumtahanah: 7)
Doakanlah keberkahan untuk mereka, kuatkan dan support mereka, karena sesungguhnya mereka sedang menjalani sesuatu yang tidak mereka inginkan. Bantu mereka untuk menegakkan hukum Allah SWT.
Kopri Nurzen
Dai Ambassador Dompet Dhuafa
Post a Comment