كشاف القناع عن متن الإقناع (17/409)
وَقَالَ) الْإِمَامُ (مَالِكُ) بْنُ أَنَسٍ (لَا جَأْسَ بِالنَّخْرِ عِنْدَ العِنْدَ العنْدَ العنْدَ العن
“Imam Malik berkata; Tidak mengapa desahan / lenguhan panjang saat Jimak (Kassyaf Al-Qina '' An Matni Al-Iqna ', vol.18 hlm 409) ”
Bahagianya Merayakan Cinta, -tanpa mengurangi penghargaan terhadap Syaikh Muhammad Umar An Nawawi Al Bantani yang telah menulis kitab tersebut, memaparkan, larangan bersuara pada saat jima ternyata bertentangan dengan riwayat sahih yang menjelaskan praktik generasi sahabat.
Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Mundzir sebagaimana dikutip Imam As Suyuthi dalam Ad Durrul Mantsur bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan, pernah suatu kali menjima istrinya.
Tiba-tiba sang istri mengeluarkan desahan napas dan rintihan yang penuh gairah sehingga ia sendiri pun menjadi malu pada suaminya.
Tetapi Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, “Tidak apa-apa, tidak jadi masalah. Sungguh demi Allah, yang paling menarik pada diri kalian adalah desahan napas dan rintihan kalian.”
Senada dengan riwayat tersebut, faqihnya sahabat, Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang hukum rintihan dan desahan saat berjima. Beliau menjawab, “Apabila kamu menjima istrimu, berbuatlah sesukamu.”
Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Mudzir sebagaimana dinukil Imam A-Suyuthi dalam tafsir Ad-Duraru al-Mantsur, bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan pernah suatu kali mengajak istrinya berhubungan intim.
Tiba-tiba istrinya mengeluarkan desahan nafas dan rintihan yang penuh gairah, sehingga sang istri malu dengan sendirinya. Namun, beliau justru menanggapi, “Tak jadi masalah.
Sungguh demi Allah, yang paling menarik dari diri kalian adalah desahan nafas dan rintihan kalian.”
Imam As-Suyuthi juga meriwayatkan, bahwa ada seorang Qadhi yang tengah menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah nafasnya. Qadhi pun menegurnya. Namun tatkala Qadhi menggauli istrinya lagi, ia justru berkata, “Coba lakukan lagi seperti kemarin.”
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hukum desahan dan rintihan yang dilakukan tatkala berhubungan seks. Beliau menjawab, “Apabila engkau mengauli istrimu, berbuatlah sesukamu!”
Dari paparan di atas, menurut saya jelas bahwa mendesah dan merintih sebagai ekspresi gairah dan letupan kenikmatan bersenggama tidaklah terlarang secara syariat.
Tak ada dalil yang secara valid melarang mendesah dan merintih saat bersenggama karena hal itu sejatinya juga merupakan fitrah dan tabiat yang umumnya dimiliki oleh kaum wanita.
Bila ada anjuran untuk tidak mendesah dan merintih dengan desahan dan rintihan yang keras, sebagaimana yang termaktub dalam buku dan kitab yang telah saya sebutkan di muka, sesungguhnya konteksnya adalah “bila didengar atau khawatir didengar oleh orang lain”.
Sebagaimana juga dinyatakan oleh Zainab Hasan Syarqawi dalam Ahkamul Mu’asyarah Az-Zaujiyah, “Dimakruhkan seorang suami mencium atau menggauli istrinya di dekat orang banyak atau dengan suara yang didengar oleh orang lain atau istri yang lain jika ia menikah dengan istri lain, karena ini merupakan perbuatan merendahkan.”
Berikut lima alasan kenapa istri atau seorang wanita suka mendesah saat berhubungan intim:
1. Karena nikmat dan senang
Mendesah sepertinya salah satu cara bagi wanita untuk menunjukkan bahwa ia menikmati saat berhubungan. Ini juga menunjukkan bahwa ia sangat senang dan menunjukkan gairahnya.
2. Membuat pasangan pria lebih percaya diri
Tahukah anda bahwa terkadang wanita memalsukan dengan mendesah karena ingin anda percaya diri.
3.Mengarahkan pria
Semakin keras desahannya, artinya anda berhasil membuatnya nikmat. Menjadi semacam arahan, anda jadi bisa mengetahui teknik atau gaya apa yang membuatnya merasa nyaman dan menikmatinya.
4. Meningkatkan gairah
Mendengar desahan pasangan tentunya dapat membuat pria semakin bergairah. Hal tersebut ternyata cukup banyak disadari wanita.
5. Terjadi tanpa bisa dikendalikan
Jika anda penasaran mengapa wanita mendesah, jawabannya adalah karena mereka tidak bisa menahan untuk melakukan hal tersebut. Secara spontan wanita akan melakukannya saat berhubungan, meskipun ia berusaha menahannya.
Adapun bila situasi dan kondisinya memang aman, dalam arti tertutup sehingga tidak akan terlihat oleh orang lain dan “kedap suara” atau situasi sepi sehingga orang lain tidak akan mendengar suara desahan dan rintihan saat bersenggama, maka boleh mendesah dan merintih, karena secara fitrah memang hubungan seksual itu dibingkai oleh pengaruh lust(nafsu birahi) dan infatuation (kegilaan/petualangan) yang dapat memungkinkan timbulnya situasi “heboh dan ribut” dengan aksi fisik disertai desahan dan rintihan.
Namun demikian jika istri tidak mau mendesah atau merintih karena malu maka tidak perlu dipaksakan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : Baba Dar Ibnu Hazm
إرسال تعليق